
MY THESIS
sebuah cerpen islami penggugah jiwa
Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri. [QS. At Thur: 48]
Malam ini kurebahkan badan di atas atap kosku yang kebetulan belum dibangun. Kutatapi bintang yang bertaburan dilangit pekat. Bulan tersenyum malu dibalik awan seolah mengajakku untuk bercumbu rayu dengannya. Malam ini akan kuhabiskan untuk tadabur alam, tenggelam bersama luasnya jagad yang kian lama kian merentang, melebar, persis seperti apa yang dikatakan oleh teori Big Bang. Kukuburkan penat di kepalaku bersama hembusan angin malam. Mataku tak berkedip menatap lepas ke benda-benda yang katanya tercipta dari ketiadaan itu. Mencuat dari sela-sela tubuhku rasa takjub yang begitu sangat. Detak jantungku terus berdegub, berirama, memompa darah dan mengalirkannya kesetiap sel tubuhku. Angkasa! Ada apa dibalik tiraimu yang ajaib?
***
Pameran buku kali ini sesak dengan orang-orang. Kanan kiri berederet stan buku dari nomor satu hingga nomor lima puluh, pada setiap rak berjejer buku-buku bagus, mulai dari buku ilmiah, atau nonfikisi sampai buku-buku fikisi, membuat hatiku tergiur. Pameran yang diadakan setiap setahun dua kali ini adalah bertujuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dari buta huruf. Dan bagiku, setidaknya kali ini adalah kesempatan besar dan langka untuk membeli berbagai referensi pendukung tugas akhir kuliah, skripsi. Diskonannya yang tinggi, setidaknya bisa terjangkau oleh kalangan mahasiswa menengah kebawah sepertiku.
Rasa cintaku pada buku sudah tertanam sejak aku masih kecil, semenjak SD. Waktu itu, walaupun sekolahku penuh dengan keterbatasan tapi untuk buku aku masih berpeluang untuk membaca di perpustakaan sekolah. Aku masih ingat buku tua yang pernah kubaca berjudul “Karakatu-Karakatau” yang berisikan tentang petualang dalam menjelajahi dunia gunung. Satu kalimat yang sampai saat ini, sampai status mahasiswa itu menyandang di pundak, sebuah statement yang tertulis di setiap cover buku yang aku baca waktu itu adalah “membaca adalah menjelajahi dunia”. Gairah mebacaku waktu itu terpacu dengan cepat. Entahlah. Sehari saja aku tidak membaca buku rasanya ada yang hilang dari hari-hariku. Buku kesukaanku adalah buku-buku sains yang memmbahas tentang alam, atau lebih tepatnya Ilmu Pengetahuan Alam. Nilaiku untuk pelajaran IPA bisa dibilang yang paling tinggi. Berkat membacalah aku sedikit banyak mengenal pengetahuan yang teman-teman lain belum ketahui.
Sudah hampir setengah jam aku berjalan ke sana ke mari tanpa membeli buku satupun. Padahal banyak buku yang harus kubeli sebagai referensi dalam peneliatianku. Tugas akhir skripsi itu cukup membuat keringat bercucuran. Penelitianku tetang pengaruh air do’a terhadap kesehatan itu cukup merampas hari-hariku. Fikiran selalu terfokuskan pada tugas. Ingin rasanya segera kukuburkan penat dikepala ini bersama tenggelamnya waktu. Padahal masih belum seberapa aku menyelesaikannya. Bab I dan bab II alhamdulillah sudah kelar walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Maklum anak kos-kosan. Untuk perbaikan gizi saja sudah susah, apalagi dihadapkan dengan tugas yang membutuhkan banyak referensi. Orang tua tidak bisa dijadikan tumpuan utama dalam urusan money. Bisa kuliah saja adalah nikmat besar yang harus kusyukuri. Tak apalah, suatu saat ketika gajian sudah menunjukkan batang hidungnya kantongku akan sedikit menebal. Tanggal muda akan segera bangkit dari persemaiannya, menaburkan kasih pada setiap tangan-tangan yang telah berusaha dengan sebegitu kerasnya. Menaburkan lembaran seraya berkata “ ini gajimu dalam sebulan”. Alhamdulillah aku masih punya les-lesan, setidakanya ada sebongkah asa yang bisa kutunggu setiap akhir bulan.
Ditengah keramaian orang yang bersilang-saling, mataku menagkap sesuatu yang sekian lama aku cari. Pada stan nomor lima ia bersemayam. Ia tampak bersinar dengan sedikit cahayanya dan cukup membuat adrenalinku terpacu sejenak. Ia adalah kekasih yang sekian lama dicari oleh pecinta. Dirindu oleh para pelukis dunia untuk kemudian diabadikan dimuseum Internasional Zurich. Dialah buku utama dalam pencarianku untuk meluruskan skripsi yang penuh dengan coretan dosen pembimbing. Buku itu adalah “The True Power of Water” yang ditulis oleh seorang ahli di bidang air berkebangsaan Jepang, Masaru Emoto, yang telah banyak mandaptkan reward dari level nasional hingga level internasional. Dalam penelitian bersama rekannya, Tn. Kazuya Ishibashi ternyata beliau harus gagal puluhan kali hinggga pada akhirnya keberhasilan itu beliau raih. Buku yang telah diterjemah ke dalam 24 bahasa itu, termasuk juga bahasa Indonesia pernah mendapat gelar “The New York Times Best Seller”.
Rasa hausku akan buku itu semakin menjadi-jadi ketika kutahu kalau buku itu adalah buku terakhir yang ada pada bazar kali ini.
“Mas, apa ada lagi buku tentang air, yang harganya lebih murah?” tanyaku pada penjaga stan.
“Ngak ada mas. Cuma itu, itupun buku terakhir mas, untuk saat ini kami kehabisan stok, mas mau beli buku itu?” tanyanya, merayu.
“Pengennya ya, oya.. nama mas siapa ya?” tanyaku dengan memalingkan alih pembicaraan disertai nada skeptis bercampur malu. Uangku tidak cukup.
“Agung” jawabnya.
“Saya Amir mas” aku ciut dalam ketiaknya.
Ah uang! Lagi-lagi kau mejadi syarat utama dalam mencari pengetahuan. Uang adalah kendalaku saat ini. Bagaimana tidak, bukankah untuk membeli buku itu harus memakai uang, rasanya ingin kembali kemasa prasejarah dimana sistem barter waktu itu berlaku. Tapi tak apalah, akan kuusahakan untuk mencari pinjaman ke teman.
Rasa gatalku untuk segera mendaptkan buku itu semakin menggerayap di sekujur tubuh sementara uang samasekali tak ada dalam genggaman. Tabunganku tak cukup untuk membeli buku yang sedemikian mahal, padahal hari untuk ujian skripsi tinggal beberapa saat lagi. Mau tidak mau buku itu harus segera kumiliki, atau setidaknya sedikit banyak mengetahui isinya.
“Sabarlah Mir!” hati kecilku berbisik. Hati kecilku adalah senjataku dalam memerangi rasa malas dan menyerah. Karena padanya terdapat mutiara kejujuran yang takkan pernah terbantahkan oleh apapun dan siapapun. Padanya nilai-nilai luhur manusia bersemayam. Manusia apabila menuruti kata hatinya, maka dia takkan pernah melakukan apa-apa yang memang telah dilarang agama. Sesuatu yang keluar dari lubuk hatinya adalah sebuah kejujuran. Namun, perjalanan nurani yang suci itu takkan selamanya berjalan mulus. Dosa yang sering diperbuat adalah penyebab utamanya, sehingga nurani yang suci itu tertutupi bintik hitam dosa yang kain lama kian menebal dan akhirnya sang suci itu, cahayanya meredup. Begitulah aku. Aku tak ingin menyerah dalam kondisi bagaimanapun.
Untuk sekedar melihat-lihat, penjaga bazar buku tersebut mengizinkan aku membaca walau hanya dari covernya saja. Kebetulan plastik pembungkusnya sudah dilepas. Biasa, buku yang dijadikan sampel, selalu saja dilepas pembungkusnya, gunanya untuk memnarik pembeli. Perlahan aku membukanya. Aku memabacanya dengan pelan, mencerna perkalimat yang kebetulan berbahasa Inggris. Dengan perlahan aku larut dalam samudera kekaguman, tenggelam bersama kalimat-kalimat penggugah jiwa. Kulihat Mas Agung sibuk dengan pembeli lain. Bazar buku kali ini penuh dengan diskonan yang cukup tinggi, sehingga banyak pelanggan bermminat membelinya. Aku terus saja mencerna kalimat demi kalimat hingga pada akhirnya aku terduduk dengan sendirinya di pojokan stan ini. Buku itu adalah buku yang memang aku cari untuk keperluan tugas akhir akripsi.
“Mas! Bacanya sudah selesai?” tanya mas Agung pelan.
“Ya... ya..” jawabku dengan seketika menutup buku itu. Aku sontak kaget dibuatnya. Kurasakan mukaku masam karena malu. Pasti mas Agung tahu kalau aku tak mungkin membelinya.
“Ah! Malu-maluin kau Mir” gumamku dalam hati.
“Ya udah mas.. saya buru-buru” ucapku cepat.
“Ya..” jawabnya sambil menyunnggingkan senyum.
Kubergegas menjauh dari mas Agung dengan memikul rasa malu yang begitu sangat. Baginilah aku jika lagi kanker, alias kantong kering. Bisanya hanya membaca saja tanpa membelinya.
***
“Udah bab berapa skripsimu Mir? Tanya Dodi, teman fakultasku.
“Alhamdulillah, bab I dan bab II sudah kelar walau masih ada sedikit yang harus direvisi. Sekarang masih dalam penggarapan bab III”
“Sukses ya.”
“Amin!”
Alhamdulillah. Kanan kiri, depan belakang, semua mendukungku. Setidaknya masih ada yang peduli terhadap anak kos yang pas-pasan seperti aku ini. Itu cukup untuk menjadi pemacu dan pemicu semangatku untuk terus mengejar pelangi nun jauh disana, berlari dari bukit ke bukit untuk melihat terbitnya sang surya, menancapkan bendera di puncak gunung Himalaya. Sementara itu, perasaan harap-harap cemas yang tidak berujung, yang tidak tahu kapan aku bisa mendapatkan buku itu kian mewarnai hari-hariku.
Penelitianku tentang air adalah bermula dari statement yang mengatakan bahwa air adalah sumber kehidupan. Allah SWT telah berkehendak menjadikan bumi sebagai planet yang kaya akan air. Sekitar 71% permukaan bumi dipenuhi oleh air, sedangkan 29% lainnya adalah daratan. Bumi juga menerima limpahan air hujan dari langit setiap tahunnya sebanyak 380.000 km3, 284.000 km3 terbuang di lautan samudera dan 69.000 km3 di daratan.
Satu kasus yang sampai saat ini membuatku mengernyitkan dahi. Kasus itu sering bahkan sampai sekarang terjadi di desaku. Banyak warga masyarakat yang ketika sakit, sakit apapun itu, maka satu-satunya obat yang lebih didahulukan dari obat lainnya adalah air. Tapi tidak sembarang air. Air itu adalah air pemberian seorang kiayai. Akupun pernah mengalami hal yang demikian. Ketika aku demam dulu, ayahku langsung ke kiayi. Ketika Ayahku pulang pasti dengan membawa segelas air, katanya itu adalah air doa. Air yang tersusun dari unsur H2O, hydrogen dan oksygen itu ternyata menyembuhkan. Ia bersifat healing persis seperti yang aku baca dari buku beberapa saat lalu, The True Power of Water. Dari sanalah penelitianku berawal. Bukankah masyarakat mesir kuno juga menjadiakn air sebagai sarana penyembuhan? Seorang dokter terkenal zaman itu, Amenhotep menganggap air sebagai unsur penting dalam setiap resep obat yang dibuatnya untuk pasien.
Terapi dengan air adalah aneka cara pengobatan menuju kesembuhan. Tugas utama air adalah untuk memompa suhu panas dan dingin tubuh. Suhu panas tubuh menjadi pendorong yang positif bagi energi tubuh. Hal itu terjadi berkat pengaruh efektif air terhadap komponen sel-sel mikroorganisme yang terdiri dari elektron dan ion-ion. Subhanallah! Maha suci Allah yang telah menjadikan air sebagai obat. Entahlah jika seandainya tak ada air, tentunya takkan ada kata dehidrasi untuk suatu penyakit.
Rasa takjubku pada air kian lama kian tinggi menggunung. Apalagi ketika sempat kulihat bentuk kristal air yang diambil dari air Zamzam. Air yang kandungan mineral Tidak seperti air mineral yang umum dijumpai, air Zamzam memang unik mengandung elemen-elemen alamiah sebesar 2000 mg perliter. Biasanya air mineral alamiah (hard carbonated water) tidak akan lebih dari 260 mg per liter. Elemen-elemen kimiawi yang terkandung dalam air Zamzam dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian: Pertama, positive ions seperti misal sodium (250 mg per litre), calcium (200 mg per litre), potassium (20 mg per litre), dan magnesium (50 mg per litre). Kedua, negative ions misalnya sulphur (372 mg per litre), bicarbonates (366 mg per litre), nitrat (273 mg per litre), phosphat (0.25 mg per litre) and ammonia (6 mg per litre). Kandungan-kandungan elemen-elemen kimiawi inilah yang menjadikan rasa dari air Zamzam sangat khas dan dipercaya dapat memberikan khasiat khusus.
Semangat untuk segera menyelesaikan tugas akhirku kian terapacu.
“Assalamualaium Farhan!apa kabar sahabat? Bisa nga’ kita ketemuan besok pagi di depan Fakultas kita? Seperti biasa, jangan lupa ya..?” Tanyaku ke Farhan lewat SMS. Bebrapa saat kemudian ada balasan dari Farhan
“Waalaikumsalam, kabarku baik Mir, aku lagi kosong Mir, maaf ya... ^_^?” balas Farhan lewat SMS.
Sebenarnya pertemuanku besok pagi dengan Farhan adalah untuk meminjam uang. Untuk beberapa bulan terakhir ini, Farhan adalah tumpuan yang menduduki list teratas dalam urunsan uang. Maklum, sakunya selalu tebal. Tidak sepertiku yang pas-pasan. Tapi kali ini, krisis global juga harus berimbas pada kantong tebalnya. Sabarlah Mir! Kamu pasti bisa membeli buku itu.
Mahgrib baru saja berlalu bersama lantunan Adzan isya’. Sementara bazar buku masih ramai seperti biasanya. Mas Agung yang sempat aku kunjungi waktu itu tak nampak di penglihatan. Buku yang tinggal satu itupun masih berdiri tegak di rak sana. Aku mencoba mendekatinya. Kali ini aku tak perlu malu-malu lagi untuk membaca kembali buku itu, toh yang jaga bukan mas Agung. Entah kemana dia. Seperti halnya seorang pembeli, aku melihat-lihat dari buku satu ke buku lainnya hingga akhirnya terjamahlah kembali buku yang membahas tentang air itu. aku membaca dari satu kata ke kata, dari satu kalimat ke kalimat, dari satu halaman kehalaman berikutnya. Sementara penjaga yang entah siapa namanya itu tak menghiraukanku, dia sibuk dengan pembeli lain. Aku dengan asyiknya membaca buku itu. Ketika aku berpaling sejenak, tiba-tiba mataku menangkap sebuah sosok yang sangat kukenal. Makin lama kian mendekat. Mas Agung. Ya. Wajah yang teduh itu masih lembab karena air wudhu’. Rupanya ia baru saja sholat Isya’. Seketika aku terperanjat. Aku bangun dari dudukku. Segera pergi. Kutaruh buku itu begitu saja tanpa mempedulikannya lagi. Aku tak ingin mas Agung melihatku. Sudah cukup aku terlumuri malu. Aku berlari, tak peduli siapa yang akutabrak. Entahlah, mas Agung melihatku atau ngak.
Saat ini aku tak ubahnya seekor kepompong yang sedang bersemedi, menunggu datangnya hari-hari indah menjadi kupu-kupu. Jika berhasil, maka kupu-kupu indah akan beterbangan, dan jika tidak, maka aku tetap menjadi kepompong jelek yang mati, terkubur dalam abu sejarah. Makanan yang kupunya saat ini hanyalah sabar. Katanya seorang muslim sejati itu tidak pernah terlepas dari tiga keadaan yang merupakan tanda kebahagiaan, yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, bila mendapat cobaan maka dia bersabar dan bila berbuat dosa maka dia beristighfar. Sungguh menakjubkan keadaan seorang muslim. Bagaimanapun keadaannya dia tetap masih bisa menuai pahala. Sabar dan sabarlah dalam menunggu datangnya pelangi. Menunggu dewi furtuna turun. Menunggu untuk segera bisa membeli buku itu. Aku sudah berusaha mencari pinjaman kebeberapa teman terdekat, tapi hasilnya tetap nihil. Sementara bazar buku tinggal dua hari lagi.
“Mir, saya ada uang. Katanya kamu lagi butuh pinjaman?” suara itu seketika bergelagar. Aku seolah disambar petir. Kaget. Suara merdu itu adalah suara seorang perempuan, ukhti Zainab, begitulah ia kerab dipanggil.
“Ya.. begittulah!” jawabku sambil menyunggingkan senyum.
“Kalau gitu, entar sehabis kuliah temui aku dikelasku ya..”
“Ya... pasti, InsayaAllah.. makasih banyak ya?”
Alahamdulillah. Siapa yang bakalan nyangka kalau aku bisa mendapatkan pinjaman. Semua itu adalah kehendak-Nya.
Dompetku kali ini agak sedikit menebal dengan uang itu. Aku bergegas ke bazar sebelum bazar itu keburu tutup.
“Pak, saya mau beli buku yang terpajang disini kemarin. Buku yang membahas tentang air” tanyaku pada penjaga stan itu. Kebetulan yang menjaga kali ini bukan Mas Agung.
“Buku yang tinggal satu kemarin itu baru saja dibeli orang. Jadi sudah habis mas.” Jawabnya. Aku merasakan jantungku berdegub kencang. Aku melihat bahwa skripsiku tidak bisa diselesaikan bulan ini. Referensinya sangat tidak mendukung. Kurang. Aku segera pulang dengan digelayuti sejuta penyesalan. Entahlah! Kenapa ketika uang sudah ada, malah bukunya yang sold out. Lagi-lagi aku harus bersabar. Ditambah lagi KTM-ku juga hilang. Entah kemana aku harus mencari. Seingatku tadi masih ada. Tapi biarlah, nanti kalau ada uang bisa bikin lagi.
***
Dua minggu berlalu. Ujian skripsi tinggal beberapa saat lagi. Namun skripsiku masih macet di bab IV, layaknya mobil yang kehabisan bensin. Haruskah aku wisuda tahun depan? Bisakah aku memenuhi permintaan kedua orang tuaku? Atau memang ini jalan yang aku harus tempuh? Ah tidak! Q pasti wisuda tahun ini. Biarkan waktu yang menjawab.
“Tok... tok... tok!” pintu depan kos berbunyi.
“Pos!” disusul kemudian suara pak pos.
“Aduh ngapain Pak Pos siang-siang gini kesini, ganggu orang tidur ja” gerutuku dalam hati.
Kubuka pintu depan kos dengan mengusap-ngusap mata. Ngatuk banget.
“Buat saudara Amir” tegasnya sambil mengeluarkan selembar kertas tanda terima.
“Aku? Amir?” tanyaku meyakinkan.
“Ya, Amiruddin” timpalnya.
“Perasaan aku tidak pernah minta kiriman lewat pos, siapa juga yang tahu alamat ini” tanyaku dalam hati dengan penuh keheranan.
Aku tanda tangani surat tanda terima kemudian menerima bingkisan segi empat itu. Sungguh aku masih terheran-heran. Rasanya aku tak pernah minta kiriman lewat pos. Kubuka dengan pelan. Didalamnya selembar kertas berbaring seraya bertuliskan,
“ Buat Amiruddin di tempat. Terimalah hadiah tak berharga ini dari saya: sebuah buku The True Power of Water. Ttd: Agung Setiawan. Penjaga stan bazar buku nomor 05.” Disusul dengan KTM-ku yang hilang.
Laahaula wala Quwwata illa billah.
Malang, 23 Juni 2009
Dj@z, Anak muda yang sedang bermetamorfosis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar