Minggu, 29 November 2009



"GELEMBUNG ASA IBU"

sebuah cerpen inspiratif pembangun semangat



Siang perlahan-lahan menipis, merangkak menuju malam. Senja, ya itulah kalaku saat ini. Garis sinar matahari menyinari ladang sembari sembunyi di balik awan. Semilir angin menerpa tubuhku, menyejukkan segenap jiwa ragaku. Aku tak dapat berkata-kata, mulutku terkunci, terpesona oleh keindahan senja. Rombongan burung sawah menari-nari melengkung sambil berteriak seolah mengerti getaran hati yang tengah melanda hatiku saat ini. Mereka terbang dengan begitu leluasanya menuju lembah tenggelamnya sang Surya. Aku masih saja mengelambungkan pesonaku akan senja kala ini. Kurasakan luasnya alam seluas rasa ini dapat merambah hingga ke jarak terjauh.

Senja ini, aku seperti baru saja terbebaskan dari dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk pemikiran, dunia yang selama tiga tahun ini menjelma menjadi selembar kain hitam yang mengikatku erat-erat. Ya, tadi pagi kami siswa kelas tiga IPA, IPS dan Bahasa baru saja melaksanaka Ujian Akhir Nasional, UAN. Dunia terasa begitu lempang angka ribuan, jutaan dan milyaran itu sudah tidak lagi menari-nari dalam anganku.
Hempasan angin menggiring bau tanah terasa begitu menyengat hidung, petanda bahwa senja akan segera diganti malam dengan jutaan misterinya dan cakrawala merah jingga diangkasa raya akan diselimuti pekatnya malam yang membelam. Ia merambah perlahan, samar, dan tiba-tiba….
“Allahu Akbar-Allahu Akbar…”
“Allahu Akbar-Allahu Akbar…”

Sesekali aku terperanjat ketika sayup-sayup suara Adzan dari surau dan masjid dipelataran nan jauh disana terlantun, melambai-lambai di udara, dihempas angin dan menaungi seantaro desaku. Kalimat-kalimat suci itu memecah kesunyian dalam kesendirianku, perlahan-lahan menyusup dalam imajiku, tertancap dalam palung-palung jiwa. O, betapa sejuk kurasa, betapa jiwa ini terlampiaskan dari kehausaan dan kekeringan. Jiwaku seakan terjamah, diremas, nyeri. Suara Adzan itu semakin menambah keharuan dalam gelembung pesonaku. Jiwaku terjaga oleh impian-impian dan semangat hidup. Kegetiran hidup yang semakin membengis terhapuskan sejenak ditimpali bongkahan es kesejukan yang turun dari langit, membangunkan jagad seataro ini dari keterpurukan bangkit menuju pelita penuh harapan, kemenangan, Hayya ‘alal Falah. Aku tertegun mencerna panggilan-panggilan suci itu.

000

Dalam gontaian langkahku menuju rumah, tercermin dalam anganku wajah ibu tercinta,
Degh!
Jantungku berdegup kencang , aku lupa kalau sedari tadi siang aku sudah keluar rumah tanpa pamitan sama ibu.
“Ibu pasti menungguku!!”

Kupercepat langkahku, pulang. Jalan setapak yang kulalui terasa bak seekor ular dimana aku sedang berjalan di punggungnya menuju kepala dengan gigi taringnya. persis seperti dua tiang gantungan dan aku digiring untuk dieksekusi. Semak belukar yang kujumpai di samping kanan dan kiriku bak seekor singa yang meraung-raung, ingin mencabik-cabik raga ini. Semua seolah mempersalahkan kepergiannku yang tanpa pamit ini. Fikiran tidak enak semakin menjilati sekujur tubuhku.

Malam semakin mempekat dan langit mulai terhiasi gemerlip bintang. Bulan memantulkan cahaya surya , berpijar ditengah petala langit yang gelap-gulita di atas sana.
dalam langkahku pulang, kusempatkan diriku untuk shalat Mahgrib di surau karena rumahku agak begitu jauh, sekitar satu kilometer.

000

Malam merayap, merangkak tertatih-tatih, dan Mahgribpun telah berlalu tenggelam bersama gorong-gorong waktu, namun bacaan dzikir dari surau dan masjid meraung-raung dikejauhan sana.

Tanpa terasa aura rumahku sudah didepan mata. Dihalaman depan rumah, tepat dibawah sentir yang tergantung tepat dibawah atap depan rumah, berdirilah seorang wanita tua renta dengan rukuh yang belum dilepasnya, ia baru saja shalat. Sambil mengggerakkan jari-jemari bersama sebuah tasbih hitam, mulutnya berkomat-kamit, wanita itu sedang berdzikir , dzikir yang baginya makanan rohaninya . wajahnya merona berseri-seri bak pelita dalam kegelapan , namun terukir pada garis wajahnya sebuah kesedihan, raut wajahnya menerawang, ia menatap sayu kedepan seolah ada yang ditunggunya selama ratusan tahun. Perlahan ia menitikkan air mata kesedihan, memecah garis-garis pipinya yang sudah mulai lentur selentur kain sutra. Wanita tua itu adalah ibuku dan juga ibu dari kakakku yang telah meninggalkan kami beberapa tahun lalu. Inilah aku yang tak pernah merasakan belaian kasih dari seorang kakak karena dia keburu meninggalkanku kala aku masih dalam kandungan. Kanker rahim yang dideritanya membuatnya tak bergeming untuk bertahan hidup walau sedetik sebelum aku dilahirkan. Begitu juga dengan ayah, beliau menderita sakit yang berkepanjangan setelah kematian kakak perempuanku. Beliau tak meninggalkan apapun kecuali sepetak tanah. Kini aku hidup bersama seorang ibu yang sudah menginjak masa menopause dimana beliau tidak bisa bekerja dengan keras seperti dulu kala. Dialah ibuku yang memberikan sejuta kasih sayang pada anaknya melebihi kasih sayang siapapun sekalipun harus dibandingkan dengan kasih sayang Qaisy pada Laila. Surga yang katanya sangat indah, dimana segala sesuatu terdapat disana harus merelakan berdiam dibawah telapak kaki seorang ibu. O, betapa mulia seorang ibu!. Dari sanalah jangankan membantah, menatap matanya saja aku tak berani, bagiku ia adalah kilauan permata yang tak dapat ditangkap oleh kamera manapun, silau. Tapi aku sekarang, O, betapa besar dosaku padanya hingga aku membuatnya menunggu. Bahagiaku karena UAN membuatku lupa akan sesuatu yang paling berharga dalam hidup ini. Aku tak pernah melihat ibu sebegitu durja seperti sekarang ini. Maafkan aku ibu, maafkan anakmu yang tak tahu diri ini.

“ Assalamu alaikum!” kuucapkan salam, sambil ku cium tangan lembutnya
“ Waalaikum salam!” beliau terperanjat, kaget.
“ Kamu le ?, kemana saja kamu ?” sesekali butiran air mata itu mengalir, sambil menyeka air matanya ibu mencoba tersenyum.
“ Aku … aku baru datang dari sawah bu, padi kita, Alhamdulillah sudah cukup umur untuk panen, sambil lalu aku mencari angin untuk melampiaskan kegembiraanku karena tadi pagi sekolahku sudah melaksanakan UAN “ jawabku dengan kepala menunduk.
“ ya sudah, masuk!” ajak ibu.
“ le, kamu tidak boleh terlena dalam kegembiraanmu, kamu masih diantara lulus dan tidak lulus anakkku.” Ujar ibu sambil memegang tanganku sekalian aku membawanya masuk.
“ Kamu sudah sholat le ?”.
“ Ya bu”.
“ Makan ?”.
“ Belum “. Jawabku sambil meremas-remas perutku. Sedari tadi perutku belum kemasukan makanan.
“ Kamu makan dulu, habis itu ibu ingin membicarakan hal penting denganmu”. Perintah ibu.

000

“ Alhamdulillah…!! “
Perutku sudah terisisi makanan, semoga apa yang baru saja kumakan dapat mengundang mamfaat yang bsar walaupun makan alakadarnya saja, Amin…

Sehabis makanan, seketika lamunan itu melayang-layang, yaitu lamunan dimana aku dan sekwanannku dapat mengarungi samudera kepahitan, ketidaklulusan, samudera yang sama sekali tidak kami inginkan. Kutangkap suara mereka yang begitu riang, wajah ceria yang takpernah kulihat dan senyum kebanggaan para guru. Dan aku, O, betapa beruntungnya kau Hasan mendapatkan nilai terbaik, betapa tergambar diriku begitu girang bukan kepayang , bangga. Seorang Hasan, anak desa yang miskin dapat memperoleh nilai terbaik. Dan…
“ San… kalau makannya sudah, cepat kesini, ada yang ingin ibu bicarakan” Panggil ibu dari halaman depan sana. Aku terperanjat kaget. Kudapati gelembung anganku meletus, nafasku tersenggal sejenak.
“ Ya bu..!” jawabku dari kejauhan.

Entah ada angin apa tiba-tiba aku terheran-heran karena takbiasanya ibu memanggilku seperti ini seolah ada yang benar-benar penting yang ingin ibu bicarakan. Aku dilanda sejuta pertanyaan akannya. Sesampainya di halaman depan rumah, kulihat ibu sedang duduk termangu, tersimpan sejuta misteri dibalik raut wajahnya. Aku mencoba duduk didekatnya.
“ San..” kata ibu pelan. Kemudian beliau melanjutkan,
“ Tadi, waktu kamu tidak di rumah Pak lurah kesini, beliau menanyakan soal tanah kita satu-satunya peninggalan bapak itu. Pak lurah nanya ke ibu apakah tanah itu mau dijual. Katanya beliau sangat membutuhkannya dalam dua puluh hari ini untuk keperluan masyarakat, termasuk kita ini. Tanah itu kalau jadi mau didirikan surau. Tak begitu mahal cuma diatas rata-rata. Menurutmu gimana?” Tanya ibu serak.

Degh!

Aku kaget mendengar berita yang baru ibu sampaikan itu. Aku mencoba untuk tenang. Tak ada suara apapun. Malam ini aku dilanda bisu yang begitu sangat. Suara jangkrik dan serangga malam di kejauhan sana menggema dalam lamunanku ditambah lagi detak jantungku yang semakin lama bertalu-talu dalam samudera bisuku. Sementara ibu masih diam, menunggu komentarku. Seketika aku bangkit. Aku mencoba berkomentar.
“ Semuanya kupasrahkan penuh pada ibu “, komentarku pelan. Kemudian aku melanjutkan,
“ Tapi bagaimana kita kedepannya ibu?, bukankah penghasilan kita satu-satunya bersumber dari tanah itu? Dan bukankah menjadi cita-cita ibu agar aku bisa kuliah sampai gelar Sarjana? Tapi sekali lagi, semuanya kupasrahkan padamu, ibu “
“ Rencana ibu kalau kamu nanti lulus, separuh dari uang itu untuk biaya kuliahmu dan separunya lagi buat buka usaha kecil-kecilan. Lagian kalau tidak menjual tanah itu uang kuliahmu dapat dari mana coba?”
“ Tapi pelulusan masih satu bulan dari sekarang bu, bagaimana jika… jika Hasan tidak lulus? “
“ Huss!! Kamu tidak boleh seperti itu le. Kamu pasti lulus kok, aku yakin itu. Kamu kan selalu mendapatkan rengking satu terus, apalagi nilai Ekonomimu yang tingggi menjulang itu. Yakinlah bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik buat hamba-Nya. Ya..?” ibu meyakinkan.
Oh ibu! Sulit bagiku menangkap asamu yang begitu tinggi ini. Sungguh aku tak dapat menjamah walau hanya sebutir dari gurun asamu. Hal apa yang begitu membuatmu sedemikian hingga kau relakan tanah satu-satunya itu demi masa depan anakmu yang tak tentu ini. Ibu! Semoga Hasan dapat mengemban titah ini. Amin..

000

Llima belas hari belalu sebegitu cepatnya. Waktu terus mengalir tanpa kurasakn seberapa jauh ia telah menguasai jagad ini. Perhitungan manusia akan waktu hanya dimulai sesaat setelah bumi ini mendekati detik terakhir kehancuran. Masehi da Hijriyah hanyalah sebagai dua pasak yang ertancap di bumi dan menjadi panutan umat. Keduanya tak dapat mengukur waktu lampau sebelumnya . begitulah waktu yang katanya bak sebilah pedang begitu tajam mengiris-ngiris kehidupan.

Dan aku? O, kini aku harus kehilangan sepetak tanah peninggalan ayah demi masa depanku. Masa depanku yang tak tentu. Ibu! Demi cita-citamu yang agung ini aku harus merelakan rasa kehilangan ini bersemayam di dada. Rasa ini akan menjadi pemicu semangat untuk meraih ciata-citaku. Rasa in takkan hilang dan takkan pernah terkikiskan oleh ombak manapaun. Aku berhutang budi padamu, ibu.

Tak jauh dari sekolahku, bediri kokoh sebuah rumah khas kejawa-jawaan dengan bercatkan kuning langsat. Rumah itu terletak dipinggir jalan raya. Rumah-rumah disekitarnyapun tak jauh beda dengannya. Rumah-rumah itu dihuni oleh para pejabat dan guru, tapi rumah yang bercatkan kuning langsat itu nampak begitu mewah dan alami, sangat terlihat beda dengan yang lainnya. Taman dengan kolam kecil di tengahnya menambah kesejukan suasana. Pagarnyapun tak kalah indahnya. Ia terbuat dari semen tapi nampak seperti batang pohon akasia kering karena memeng sudah didesain sedemikian, sangat terkesan begitu alami. Dekat pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati, berdiri tegak papan putih bertuliskan “ RW 09 KELURAHAN ORO-ORO DOWO”. Ya, itulah rumah Pak lurah yang telah membeli sepetak tanahku. Kedatanganku kerumah itu taklain bertujuan untuk mengambil uang yang telah kami sepakati sebelumnya. Uang itu kini telah berada dalam genggamanku. Uang dengan tas kecil itu berbobot sekitar dua kilogram. Dalm hidupku tak pernah kugenggam uang sebanyak itu. Kadang aku sampai menepuk-nepuk pipiku, takut kalau semua ini hanyalah mimipi belaka. Sakit kurasa. Kenyataan. Nada riang tergetar dalam not-not benang hatiku. Aku tersenyum kecil, bahagia. Tapi dibalik tirai senyum yang tersungging pada garis-garis bibirku, tersimpan sejuta misteri dimana akhirnya aku hanya dapat tersenyum kaku karena kulihat bayang-bayang masa depan yang bergelantungan pada kertas merah itu. Aku takut dengan semua ini. Aku takut kalau dengan uang ini aku hanya bisa diam tanpa ada usaha untuk meneruskan kuliahku. Kupegang erat tas itu, kutaruh dalam laci dekat ranjang ibu, terkunci rapi, aman.

000

Pagi yang kurasakan saat ini adalah pagi yang tak jauh beda dari pagi-pagi sebelumnya. Dingin tak lupa akan jadwalnya dan matahari mulai merekah dari ufuk timur diiringi terompet kongkokan ayam tetangga. Suara itu mematahkan garis-garis perpisahan antara diam dan bertindak. Pagi ini adalah pintu gerbang istanaku, akan kubuka lembaran pagi yang kesekiaan kalinya dan akan kutulis dengan tinta-tinta inisiasi penuh semangat.

Asap dapur mulai mengepul, petanda bahwa ibu sedang masak.

Pagi ini sangat cerah secerah cahaya hati tanpa bintik hitam dosa.
Tiba-tiba..
Bayang-bayang pelulusan memantul dari sebuah kaca yang tak kuketahui dari mana arah datangya. Kurasakan dunia seketika gelap dan semangat inisiasi itupun perlahan-lahan luruh.
“Tigahari lagi” hati kecilku berbisik. Andai saja waktu bisa kupercepat, maka tiga hari bukanlah waktu yang amat panjang. Tiga tahun seperti sesaat ketika ia dipenuhi dengan canda dan tawa. Tapi kali ini bagiku, tiga hari adalah waktu yang teramat panjang yang harus kulalui. Semenit terasa sebulan dan sejam terasa bertahun-tahun.
Saat ini aku tengah didera sejuta kegelisahan dari sebuah tanggung jawab, tanggung lulus. Sang waktu hanya menjadi hitungan jari-jemariku. Entah kapan semua kegelisahan ini akan berakhir. Waktulah yang menjadi raja bagiku. Akau harus hidup dalam sebuah gorong waktu yang disebut penantian. Kulalui waktuku dengan harus bertarung melawan segudang godaan atas segala kerisauan dan kegelisahan yang tiap detik menyayat jiwaku. Ketegaran dalam penantian menjadi santapan pahit dalam setiap sarapan jiwaku. Penantian begitu menyakitkan. Aku harus bertahan hidup walau lapar dan haus akan meremukkan ragaku tapi jiwaku takkan pernah goyah sekalipun badai besar menghantam.

O, betapa besar tanggung jawab yang kini kuemban. Tak pernah terpikirkan kalau setelah UAN akan kurasakan beban seberat ini. Aku mengira tak ada beban apapun setelah UAN. Tapi kini, kata ‘lulus’ adalah satu diantara yang ada dalam kamus tanggung jawabku. Tiga tahun seolah tiada arti ketika ketika kata itu menghilang . Aku harus lulus karena uang sudah digenggam untuk masa depanku. Memang, lulusnya seseoarang bukanlah bukanlah penentu kejenjang masa depan gemilang. Tapi apakah mungkin mereka yang tidak lulus dapat melanjutkan kejenjang berikutnya? Lembaga / instansi mana yang dapat mnerima jika syarat dan ketentuannya tidak lengkap? Bukankah ijazah dalam hal ini menjadi tali penyambung untuk mencapai masa depan? Adalah munafik mengatakan bahwa ijazah penting. Segala sesuatu mempunyai peran penting cuma ada yang lebih penting dan ada yang kurang penting..

000

Detik-detik pelulusan telah diambang pintu. Penantian yang aku tunggu akan segera tiba. Ceria dan tawa menanti kami di singgasana. Akankah linangan air mata yang kami tidak kehendaki itu akan mengalir deras? Atau mungkin samudera tawakah yang kami akan arungi? Waktu, ya, waktu yang akan menjawab semuanya.

000

Detak jantungku makin berdegup kencang seolah adrenalin mengalir deras. Darahku berdesir. Butiran keringat mulai membasahi sekujur tubuhku. Tegang, penasaran, takut dan sedih semua berkecamuk di jiwa hingga sulit kuterjemahkan perasaan apa yang sebenarnya tengah mendera hatiku saat ini.
Ada yang menanti kami di singgasana. Sejuta teka-teki bergelantungan, ingin rasanya segera kupecahkan agar segera terentaskan dariku kecemasan, rasa penasaran dan kegundahan yang selama beberapa hari ini menari-nari, mengiringi dalam setiap langkah dan helaan nafasku. Aku terpenjara berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun menanti hari kebebasan, hari pelulusan.

Hari itu,

Hari tu, hari dimana sang pecinta dapat mempersunting kekesihnya, petani yang merindu hujan kala kemarau panjang, pegawai pada tanggal tua, Muslim dikala senja Ramadhan dan bagiku O, aku yang terpenjara akan menghirup udara segar, luasnya alam, sejuknya embun pagi. Ya, hari itu adalah hari pelulusan.
Bersama sinar matahari pagi yang menyapu dedaunan, didepan halaman sekolah, dibawah pohon-pohon yang rindang, kami berkumpul, menanti pengumuman. Kami menunggu sambil ngobrol-ngobrol. Ada yang berdiri, ada yang duduk, bahkan ada yang duduk berselonjor. Suasana menjadi riuh dan gaduh.
“ Hai San! Gimana perasaanmu hari ini?” Tanya Rahmat padaku.
“ Tegang” jawabku dengan nada skeptis.
“ Tegang? Gak perlu tegang gitu bos, aku yakin kamu pasti lulus, kamu kan rengking satu terus, pakar Ekonomi lagi!”
“ Amin….tapi jangan berlebihan gitu dong Mat!” seketika Ramdan nyeletuk.
“ Ya tuh, kamu sok melebihi Tuhan”.
“ Benar tuh Ramdan, kamu ngak boleh melebihi yang diatas” timpalku pada Rahmat.
“ Tapi kita kan gak mau ada yang tidak lulus” kata Rahmat mencoba membela.
“ Semoga kita, termasuk kalian anak IPS lulus semua” tiba-tiba Aida datang menghampiri kami. Aida adalah anak Bahasa.

Sudah satu jam kami menunggu, tapi dari pihak kepolisian belum nampakkan batang hidungnya, membawa surat pengumuman itu. Kami para siswa dan juga para guru diselimuti kecemasan, kegundahan dan ketegangan.
Sepuluh menit berlalu, kemudian datanglah dua polisi dengan motornya yang bercangkang-cangkang berwarna hitam keabu-abuan. Mereka dengan tas hitam yang dibawanya turun. Polisi itu memicingkan matanya, mencocokkan tas itu dengan sekolah kami, ‘ SMA HARAPAN BANGSA I ‘. Kemudian keduanya berjabat tangan dengan para guru. Kami menatapnya lekat-lekat, semua mata tertuju padanya. Setelah berbincang-bincang agak lama, pak Amin kepala sekolah kami mengkondisikan teman-teman, membagi sesuai dengan kelas kami. Tiga kelas berderet memanjang bak tentara yang akan dikirim perang. Wajah kami memucat keputih-putihan.
“Assalamamu ‘alaikum Wr. Wb” pak Amin berucap salam.
“ Wa ‘alaikum salam Wr. Wb” kami serentak menjawab.

Dengan didampangi pak Hosein, guru Agama kami, pak Amin mencoba membuka map kuning itu. Dibelakang sana berjejer wali kelas; pak Agus wali kelas Bahasa, Ibu Sunarsih wali kelas IPA dan pak Bambang wali kelas IPS. Di pojok kiri sana, beberapa meter dari para wali kelas, berdiri tegap dua sosok manusia dengan seragam coklat dengan sebuah pistol disisi sabuk sebelah kanannya. Kedua tangannya menyikut kebelakang dan kedua kakinya terbuka, posisi istirahat. Mereka adalah polisi yang ditugaskan membawa hasil pengumuman pelulusan.
Dibukalah amplop besar itu oleh pak Amin. Kami seakan diremas-remas, ketakutan. Tanpa basa-basi beliau membagikan tiga lembar kertas putih pada ketiga wali kelas disusul beberapa kertas lainnya. Pak Agus, bu Sunarsih dan pak Bambang masing-masing menuju kearah kami. Keadaan menjadi lengang sejenak, angin menyapa kami dengan lembut. Kami tak mendengar apapun kecuali detak jantung kami yang kian lama kian berdegup kencang seolah mau copot, meronta-ronta, tegang. Keringat membasahi kerah kami. O, apakah dunia akan mencela jika aku tidak lulus? Apakah uang yang aku terima tidak akan berarti apa-apa tanpa selembar ijazah? Duh gusti!! Hamba tak kuasa menanggung beban seberat ini.

Kulihat pak Agus dan bu Sunarsih menyunggingkan senyum diantara kedua ujung bibirnya. Keduanya seakan ingin berteriak girang melihat kertas itu. LULUS. Ya begitulah kelas IPA dan BAHASA berhasil menembus tabir tebal pelulusan. Mereka bersorak ria. Air mata yang mereka keluarkan adalah air mata aria, sementara kami anak IPS masih dilanda banjir keringat yang terus menerus bercucuran seakan menenggelamkan raga kami., ada juga dari kami yang sampai menitikkan air mata. Rini, dialah cewek tercengeng di kelas kami, sapu tangannya tak kuat menahan bendungan air mata yang bocor dan mengalir memecah pipinya yang halus dan wajahnya yang mungil. Dan aku O, aku menangis juga, kenapa aku menitikkan air mata? Air mata ini? Apakah ini air mata yang bersumber dari telaga kesedihan atau kegembiraan? Getir kurasa. Rasa takut dan cemas menyelimuti jiwa ragaku. Bagaimana jika aku tidak lulus? Bagaimana jika…, Ah, tidak! Aku pasti lulus. kalaupun aku nanti tidak bisa memesuki pintu gerbang pelulusan, maka itu adalah yang terbaik buatku. Apalah arti selembar ijazah dibandingkan dengan ibuku! Apalah arti nilai dibandingkjan dengan kasih sayang ibu! O, betapa naifnya aku jika tidak bisa menghadapi sebuah kenyataan. Betapa aku tersesat jauh dari jalan-Nya ketika duri sekecil ini tak bisa ku hadapi. Jalan beronak duri bukanlah apa-apa dibandingkan dengan jalan lempang yang telah Tuhan anugerahkan padaku. Aku pasti bisa menerima kenyataan. BISA!!.

“ Cepat baca donk pak !” tiba-tiba Rahmat berteriak dari belakang, dia sudah tak sabaran. Aku terjaga dari keterbanan perasaanku yang sedari tadi menjalar menggerogoti jiwa ragaku. Kuseka air mataku dan kulihat pak Bambang mengerutkan keningnya. Uratnya nampak melogam. Beliau menatap kertas itu lekat-lekat seolah ada virus jenis T merasuki kertas itu. Beliau nampak memerah, entah gerangan apa yang terjadi padanya.
“ Rahmat, lulus. Ramdhan, lulus. Rini, lulus.”
Begitulah pak Bambang menyebutkan nama kami satu persatu. Dan kini sampailah pada giliranku. Namaku terletak pada daftar nama yang paling akhir karena nomor pesertaku urutan ke empat puluh dari empat puluh siswa.
“ Hasan..!” aku kaget ketika nama itu disebut, sebuah nama yang indah pemberian almarhun ayahku.

Degh!

‘ Hasan, ikut keruanganku!” perintah pak Bambang.
Aduh! Gerangan apa yang akan terjadi lagi saat ini. Teman-teman bersorak ria. Mereka bersujud, saling berpelukan, menangis. Sungguh suasana yang begitu haru-biru. Tapi aku, dasar Bambang!, tidak! maksudku pak Bambang.
Teman-teman tak mempedulikanku. Mereka tak ada perhatian samasekali padaku. Mereka mengira kalau aku mendapat hadiah spesial dari Wali kelas. Karena mereka berkeyakinan kalau nilai tertinggi ada padaku, Hasan.

000

Dalam gontaian langkah dari ruangan pak Bambang, aku tak kuasa membawa raga ini. Limapuluh kilogram dari berat badanku terasa duakali lipat. Sungguh bobot yang tak bisa kuangkat apalagi kubawa. Berat rasanya. Separuh dari bobot tu adalah bobot kesedihan. Ingin rasanya rasa itu kubuang ke kubang senyap. Tapi ah.. begitu berat.
Kurasakan keheningan yang kian akut. Angin tak lagi menyapaku lembut. Waktu seolah berhenti sejenak, mencacimaki diriku. Diriku yang tidak lulus. Pelajaran Ekonomi yang kubanggakan adalah sumber kesedihanku yang kemudian akan menenggelamkanku kedalam lembah kenestapaan. Kini aku yang melarat harus ditimpali kemelaratan dua kali lipat. Anak IPA dan BAHASA tak percaya akan semua ini apalagi taman kelasku. Mereka mengira bahwa semua ini adalah sandiwara belaka, tapi memang benar angka 0,5 dari 5,00 tak dapat kuraih. Kini aku tak bergeming dengan semua ini apalagi ditambah dengan uang yang baru kemarin lusa kuterima dari pak RW.

“ Inilah Indonesia! Bukankah dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 58 ayat(1) dikatakan ‘Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan” teriak Rahmat. Para guru dan teman-teman tersentak kaget oleh berita ini. Sesaat setelah itu Rahmat melanjutkan

“Dari ayat ini sudah diketahui bahwa yang berhak dan berkewajiban menyelenggarakan evaluasi terhadap peserta didik atas proses hasil belajar adalah guru. Karena guru-lah yang paling tahu tentang proses belajar didalam kelas, guru-lah yang paling mengerti tentang kemajuan proses belajar siswa, dan guru-lah yang dapat menentukan apakah peserta didik itu berhasil atau tidak dalam proses pembelajaran. Dimana keadilan itu?”

Aku hanya bisa diam termangu.

“Mengapa Hasan yang brilliant harus tidak lulus? Bukankah dia jauh di atas kita?” Ramdhan tiba-tiba bangkit.
“ Ya..” serempak suara teman-teman memberi respon.
Pertanyaan demi pertanyaan dilemparkan begitu saja kepada semua guru, utamnya pak Amin selaku kepala sekolah. Mereka hanya diam seribu bahasa, sementara pak polisi siap siaga Takut kalau teman-teman membuat aksi anarkis terhadap sekolah.
“ Tak ada yang perlu disalahkan teman-teman! Ini adalah pelajaran hidup yang harus kuambil dan kusimpan rapi-rapi” kucoba bangkit dari ketenggelamanku. Semua mata tertuju padaku. Mereka diam. Teman-teman tidak jadi main semprot-semprotan. Mereka tidak bisa bersenang-senang diatas sesuatu yang mereka sebut penderitaan. Bagiku ini bukanlah sebuah penderitaan. Bagiku ini hanyalah sukses yang tertunda. Aku memang kehilangan ijazah, tapi aku tidak kehilangan ibu. Aku masih punya guru dan teman-teman. Merekalah yang terpenting dalam hidupku. Karena tanpa mereka tak mungkin bagiku dapat melangkah sejauh ini.

Dalam kepedihan ini, kucoba menyelami samudera jiwaku untuk mendapati seberkas pelita untuk bisa dijadiakan obor penerang jiwaku dan menunmbuhkan bibit semangat hidup agar bisa tetap bangkit.

Tuhan tidak tidur. Tuhan tidak tuli. Allah Maha pengasih lagi Maha penyayang. Dia takkan membiarkan hambanya tenggelam dalam keterpurukan. Dan aku, semoga dibalik semua ini tersimpan sejuta kebahagiaan sebagai balasan dari cobaan yang kuhadapi ini. Bukankah setelah lapar ada kenyang, setelah haus ada kepuasan, setelah begadang ada tidur pulas, dan setiap sakit ada kesembuhan! Setiap yang hilang ada ketemu, dalam kesesatan ada petunuk, dalam kesulitan ada kemudahan, dan setiap kegelapan ada terang benderang. Jika demikian mengapa aku patah semangat.
Semoga aku tetap dalam garis kesabaran. Amin…

000

“ Ayah..! ada tamu diluar” suara melengking itu memanggilku. Itu adalah suara Ratna anak perepuanku.
“ Ayah.. cepat tamunya sudah nunggu dari tadi” ratna memanggilku lagi. Aku tersentak kaget. Kudapati diriku menitikkan air mata. Sedari tadi aku termangu disini, didepan foto ini.
“ Ibu.. kini ankamu sudah menjadi juragan padi. Kini anakmu sudah mempekerjakan lebih dari tujuh puluh orang. Meskipun aku dulu tidak lulus SMA seperti yang ibu cita-citakan, tapi maksud dari cita-cita ibu dapat kuraih, ibu dulu mewanti-wanti agar kelak aku menjadi orang yang berguna, taat beragama, dipercaya oranglain, serta dapat memperbaiki ekonomi keluarga. Ibu.. kini cucumu tidak lagi seperti anakmu ini yang harus merelakan tanahnya dijual. Dengan sisa uang itu, aku mencoba membuka usaha kecil-kecilan dan Alhamdulillah Allah bekehendak untuk menerapkan ilmu Ekonomiku walau tidak dibangku kuliah..” Aku tak dapat melanjutkan semua itu. Air mataku terus mengalir
“ juragan! Tamunya Gan!” pak Ramli, kuliku mengetuk pintu kamarku.
Kuseka air mataku. Kugantung foto itu kembali.
Aku mencintaimu ibu.

Buat mereka yang ijazah adalah segala-galanya,


Dj@z, Anak muda yang sedang bemetamoefosis
Oktober ‘08.


Sabtu, 28 November 2009


“ MENGAPA WAJIB BERPUASA?”


Oleh: A. Jazuli (Anak Muda yang Sedang Bermetamorfosis)





Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang (yang hidup) sebelum kamu, supauya kamu bertaqwa. (Al Baqrah 2: 183)

Pada dasarnya, asumsi kewajiban beribadah dalam agama adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, apa-apa yang telah disyariatkan oleh agama guna untuk kemaslahatan umat itu sendiri disamping untuk keagungan Tuhan. Barangkali hal ini sesuai dengan istilah Humanisme Teosentrik Islam, yaitu Islam sebagai agama yang memusatkan dirinya pada keimanan kepada Allah dan mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia.

Agama sesungguhnya bagi kehidupan takubahnya sebuah mistar. Dalam hal ini sebagai contoh, kita akan membuat garis lurus pada selembar kertas dengan cara menuliskan dengan tangan kita sendiri tanpa alat bantu apapun, dapat dipastikan bahwa garis tersebut tidak akan sepenuhnya lurus, bisa saja bengkok ke kanan ataupun kekiri bahkan bisa saja sangat bengkok. Hal ini menunjukkan bahwa hanya dengan tangan hampa tidaklah cukup untuk menghasilkan garis lurus, sehingga ia memerlukan alat bantu yaitu mistar dalam hal adalah agama hingga akhirnya kebengkokakan-kebengkokan itu akan lurus. Jadi dalam hal ini agama tidak akan kehilangan elan vitalnya, yaitu untuk kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat (lishalah an-nas fi ad-dunya wa falahim fi al-akhirah).


Puasa


Dalam bahasa indonesia, kata puasa berasal dari bahasa Sanskerta upawasa. Dalam Al-Quran puasa disebut denga shaum atau shiyam yang berarti menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu atau mengendalikan diri. Secara etimologi, puasa berarti menahan, baik menahan makan, minum, bicara dan perbuatan. Sedangkan secara terminologi, puasa adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa. Sebagian ulama mendefinisikan, puasa adalah menahan nafsu dua anggota badan, perut dan alat kelamin sehari penuh, sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenamnya matahari dengan memakai niat tertentu.

Puasa yang merupakan rukun islam ini telah disyariatkan oleh Allah sejak dahulu kala bagi kaum muslimin iseluruh dunia. Puasa dalam waktu pelaksanaannya berbeda-beda. Sebagian orang berpuasa sunat, senin-kamis, puasa Nabi Daud, puasa Arafah atau puasa di hari-hari istimewa lainnya. Sebagian ada yang berpuasa setiap hari, selain hari diharamkannya puasa. Gunanya adalah untuk mendapatkan pahala. Namun dari beberapa puasa di atas, puasa di bulan suci Romadhan merupakan sebuah obligatory yang individualistik bagi seluruh umat Islam di dunia yang sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Puasa di bulan suci ini menjadi sebuah fenomena religius yang mengagumkan dan mengesankan dengan berbagai hikmah dan signifikansi yang dibawanya.

Seperti yang telah dipaparkan seebelumnya, bahwa kewajiban beribadah (dalam hal ini puasa) selain demi keagungan Tuhan, ia merupakan sebuah media perbaikan bagi seluruh umat muslim di dunia untuk mencapai sifat fitri seperti yang telah terlantun pada saat manusia (Bani Adam) belum bertengger di muka bumi ini, dimana ikrar primordial dengan sang Khalik menggema di alam ruh sana, (QS al-A’raf 7 : 172).

Untuk lebih jelasnya mengenai puasa, dibawah ini ada beberapa signifikansi-signifikansi puasa yang ditinjau dari beberapa sudut pandang.


Fasting for Spritual (Puasa bagi Jiwa)


Diktum Al-Qur’an pada surat Al-Baqarah ayat 183 bahwasanya diwajibkannya puasa adalah supaya kamu bertaqwa. Bertalian erat dengan ini H.A. Salim mendefinisikan bahwa taqwa adalah sikap mental seseorang yang selalu ingat dan waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan baik dan benar, pantang berbuat salah dan melakukan kejahatan terhadap orang lain, (diri sendiri) dan lingkungannya.

Orientasi puasa tersebut bertujuan agar manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah (taqarruban ilallah) dengan sedekat-dekatnya sehingga terjadi progress atau penigkatan kualitas diri. Dalam hal ini puasa sebagai ritus formal agama, menjadi sebuah media penyucian diri, penigkatan kualitas spritual, dan pembinaan moral. Selama berpuasa, kaum Muslimin harus menjaga diri dari segala hal yang dapat mengotori kesucian jiwa-raga. Di sini, keikhlasan dalam beribadah sangat berperan penting dan menjadi katakuci yang utama. Jadi secara fundamental, puasa itu bertalian erat dengan kejujuran diri dalam kerangka loyalitas kepada Allah yang selalu mengaawsinya.

Dalam intensitas tersebut, terdapat hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT yang akhirnya akan memperkokoh keimanan, keislaman, ketaqwaan seseorang serta mampu menambah pengayaan dan pencerahan bagi jiwa (Spritual enrichment and enlightment).


Fasting for Social (Puasa bagi Sosial)


Menilik dan memperhatikan signifikansi ibadah puasa seperti yang telah di paparkan di atas, selain berorientasi pada takwa, maka sesungguhnya puasa memiliki cakupan makna yang luas. Dalam makna terbatas, masalah takwa itu bisa selesai dipahami dengan; kesalehan individu seorang muslim dengan selalu melaksanakan apa yang di perintahkan Allah serta menjahui larangan-Nya.

Kaitannya dengan sosial (social horizontal) puasa juga memiliki elan vital tersendiri dalam upaya membentuk dan mewujudkan kemaslahatan umum bagi kepentingan umat manusia, sesuai dengan istilah yang telah disubutkan sebelumnya, Humanisme Teosentrik Islam.

Signifikansi sosial tersebut, sangat terlihat sekali tidak adanya perbedaan antara individu satu dengan individu lainnya, baik si kaya atau si miskin sama mempunyai kewajiban untuk berpuasa. Sehingga tidak ada stratifikasi-stratifikasi yang saling merugikan serta akan tercipta rasa solidaritas yang tinggi.


Fasting for Health.


Pada dasarnya kesehatan merupakan bagian dari jutaan nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Mengenai kesehatan tak ada definisi yang cukup jelas apa kesehatan yang sebenarnya, dikarenakan hal ini merupakan kondisi subyektif seseorang, sehingga sangat memungkinkan setiap individu mempunyai definisi tersendiri tentang kesehatan yang dimaksud. Namun sekalipun demikian, tidak berarti bahwa kesehatan tak terdefinisikan.

Ada statement menarik yang pernah diungkapkan Mustamir, S.Kd mengenai kesehatan.Diharapkan pengertian ini menjadi tolak ukur bagi kita untuk sedikit banyak memahami makna kesehatan dan hubungannya dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Menurutnya, kesehatan adalah pengalaman kesejahteraan yang timbul dari perasaan terhubung dengan Sumber Kehidupan (Allah) yang termanifestasikan dengan adanya keseimbangan dinamis yang melibatkan aspek fisik-psikologi seseorang di dalam melakukan interaksi dengan dirinya sendiri, lngkungan dan sosialnya. Yang menjadi pertanyaan bagi kita sekarang adalah, bagaimana kaitannya ibadah formal agama dengan kesehatan? Bagaimana pengaruh puasa terhadap kesehatan? Apakah perut kosong mengancam kesehatan atau sebaliknya?

Pada dasarnya, ibadah formal agama yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh penghayatan akan berpengaruh terhadap psikologis serta fisik. Perasaan ikhlas tersebut lebih jauh membawa efek positif terhadap emosi. Emosi yang tenang akan berpengaruh pada sistem limbik (susunan saraf pusat yang menjadi pusat emosi). Sistem limbik ini akan mengatur sekresi hormon-hormon tertentu dan hormon-hormon ini akan mengatur tubuh untuk meningkatkan kekebalan tubuh (imun).

Kaitannya dengan puasa, puasa sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Pengaruh mekanisme puasa terhadap kesehatan jasmani meliputi berbagai aspek kesehatan, diantaranya yaitu :

1) Memberikan kesempatan istirahat kepada alat pencernaan,
Pada hari-hari ketika tidak sedang berpuasa, alat pencernaan di dalam tubuh bekerja keras, oleh karena itu sudah sepantasnya alat pencernaan diberi istirahat.

2) Membersihkan tubuh dari racun dan kotoran (detoksifikasi). Dengan puasa, berarti membatasi kalori yang masuk dalam tubuh kita sehingga menghasilkan enzim antioksidan yang dapat membersihkan zat-zat yang bersifat racun dan karsinogen dan mengeluarkannya dari dalam tubuh.

3) Menambah jumlah sel darah putih. Sel darah putih berfungsi untuk menangkal serangan penyakit sehingga dengan penambahan sel darah putih secara otomatis dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

4) Menyeimbangkan kadar asam dan basa dalam tubuh,

5) Memperbaiki fungsi hormon, meremajakan sel-sel tubuh,

6) Meningkatkan fungsi organ tubuh.

Semoga amal iabadah puasa kita senantiasa diterima oleh Allah SWT. Amin.

Mahasiswa IKIP Budi Utomo Malang.


MY THESIS

sebuah cerpen islami penggugah jiwa








Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri. [QS. At Thur: 48]


Malam ini kurebahkan badan di atas atap kosku yang kebetulan belum dibangun. Kutatapi bintang yang bertaburan dilangit pekat. Bulan tersenyum malu dibalik awan seolah mengajakku untuk bercumbu rayu dengannya. Malam ini akan kuhabiskan untuk tadabur alam, tenggelam bersama luasnya jagad yang kian lama kian merentang, melebar, persis seperti apa yang dikatakan oleh teori Big Bang. Kukuburkan penat di kepalaku bersama hembusan angin malam. Mataku tak berkedip menatap lepas ke benda-benda yang katanya tercipta dari ketiadaan itu. Mencuat dari sela-sela tubuhku rasa takjub yang begitu sangat. Detak jantungku terus berdegub, berirama, memompa darah dan mengalirkannya kesetiap sel tubuhku. Angkasa! Ada apa dibalik tiraimu yang ajaib?

***

Pameran buku kali ini sesak dengan orang-orang. Kanan kiri berederet stan buku dari nomor satu hingga nomor lima puluh, pada setiap rak berjejer buku-buku bagus, mulai dari buku ilmiah, atau nonfikisi sampai buku-buku fikisi, membuat hatiku tergiur. Pameran yang diadakan setiap setahun dua kali ini adalah bertujuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dari buta huruf. Dan bagiku, setidaknya kali ini adalah kesempatan besar dan langka untuk membeli berbagai referensi pendukung tugas akhir kuliah, skripsi. Diskonannya yang tinggi, setidaknya bisa terjangkau oleh kalangan mahasiswa menengah kebawah sepertiku.

Rasa cintaku pada buku sudah tertanam sejak aku masih kecil, semenjak SD. Waktu itu, walaupun sekolahku penuh dengan keterbatasan tapi untuk buku aku masih berpeluang untuk membaca di perpustakaan sekolah. Aku masih ingat buku tua yang pernah kubaca berjudul “Karakatu-Karakatau” yang berisikan tentang petualang dalam menjelajahi dunia gunung. Satu kalimat yang sampai saat ini, sampai status mahasiswa itu menyandang di pundak, sebuah statement yang tertulis di setiap cover buku yang aku baca waktu itu adalah “membaca adalah menjelajahi dunia”. Gairah mebacaku waktu itu terpacu dengan cepat. Entahlah. Sehari saja aku tidak membaca buku rasanya ada yang hilang dari hari-hariku. Buku kesukaanku adalah buku-buku sains yang memmbahas tentang alam, atau lebih tepatnya Ilmu Pengetahuan Alam. Nilaiku untuk pelajaran IPA bisa dibilang yang paling tinggi. Berkat membacalah aku sedikit banyak mengenal pengetahuan yang teman-teman lain belum ketahui.

Sudah hampir setengah jam aku berjalan ke sana ke mari tanpa membeli buku satupun. Padahal banyak buku yang harus kubeli sebagai referensi dalam peneliatianku. Tugas akhir skripsi itu cukup membuat keringat bercucuran. Penelitianku tetang pengaruh air do’a terhadap kesehatan itu cukup merampas hari-hariku. Fikiran selalu terfokuskan pada tugas. Ingin rasanya segera kukuburkan penat dikepala ini bersama tenggelamnya waktu. Padahal masih belum seberapa aku menyelesaikannya. Bab I dan bab II alhamdulillah sudah kelar walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Maklum anak kos-kosan. Untuk perbaikan gizi saja sudah susah, apalagi dihadapkan dengan tugas yang membutuhkan banyak referensi. Orang tua tidak bisa dijadikan tumpuan utama dalam urusan money. Bisa kuliah saja adalah nikmat besar yang harus kusyukuri. Tak apalah, suatu saat ketika gajian sudah menunjukkan batang hidungnya kantongku akan sedikit menebal. Tanggal muda akan segera bangkit dari persemaiannya, menaburkan kasih pada setiap tangan-tangan yang telah berusaha dengan sebegitu kerasnya. Menaburkan lembaran seraya berkata “ ini gajimu dalam sebulan”. Alhamdulillah aku masih punya les-lesan, setidakanya ada sebongkah asa yang bisa kutunggu setiap akhir bulan.

Ditengah keramaian orang yang bersilang-saling, mataku menagkap sesuatu yang sekian lama aku cari. Pada stan nomor lima ia bersemayam. Ia tampak bersinar dengan sedikit cahayanya dan cukup membuat adrenalinku terpacu sejenak. Ia adalah kekasih yang sekian lama dicari oleh pecinta. Dirindu oleh para pelukis dunia untuk kemudian diabadikan dimuseum Internasional Zurich. Dialah buku utama dalam pencarianku untuk meluruskan skripsi yang penuh dengan coretan dosen pembimbing. Buku itu adalah “The True Power of Water” yang ditulis oleh seorang ahli di bidang air berkebangsaan Jepang, Masaru Emoto, yang telah banyak mandaptkan reward dari level nasional hingga level internasional. Dalam penelitian bersama rekannya, Tn. Kazuya Ishibashi ternyata beliau harus gagal puluhan kali hinggga pada akhirnya keberhasilan itu beliau raih. Buku yang telah diterjemah ke dalam 24 bahasa itu, termasuk juga bahasa Indonesia pernah mendapat gelar “The New York Times Best Seller”.

Rasa hausku akan buku itu semakin menjadi-jadi ketika kutahu kalau buku itu adalah buku terakhir yang ada pada bazar kali ini.

“Mas, apa ada lagi buku tentang air, yang harganya lebih murah?” tanyaku pada penjaga stan.

“Ngak ada mas. Cuma itu, itupun buku terakhir mas, untuk saat ini kami kehabisan stok, mas mau beli buku itu?” tanyanya, merayu.

“Pengennya ya, oya.. nama mas siapa ya?” tanyaku dengan memalingkan alih pembicaraan disertai nada skeptis bercampur malu. Uangku tidak cukup.

“Agung” jawabnya.

“Saya Amir mas” aku ciut dalam ketiaknya.

Ah uang! Lagi-lagi kau mejadi syarat utama dalam mencari pengetahuan. Uang adalah kendalaku saat ini. Bagaimana tidak, bukankah untuk membeli buku itu harus memakai uang, rasanya ingin kembali kemasa prasejarah dimana sistem barter waktu itu berlaku. Tapi tak apalah, akan kuusahakan untuk mencari pinjaman ke teman.

Rasa gatalku untuk segera mendaptkan buku itu semakin menggerayap di sekujur tubuh sementara uang samasekali tak ada dalam genggaman. Tabunganku tak cukup untuk membeli buku yang sedemikian mahal, padahal hari untuk ujian skripsi tinggal beberapa saat lagi. Mau tidak mau buku itu harus segera kumiliki, atau setidaknya sedikit banyak mengetahui isinya.

“Sabarlah Mir!” hati kecilku berbisik. Hati kecilku adalah senjataku dalam memerangi rasa malas dan menyerah. Karena padanya terdapat mutiara kejujuran yang takkan pernah terbantahkan oleh apapun dan siapapun. Padanya nilai-nilai luhur manusia bersemayam. Manusia apabila menuruti kata hatinya, maka dia takkan pernah melakukan apa-apa yang memang telah dilarang agama. Sesuatu yang keluar dari lubuk hatinya adalah sebuah kejujuran. Namun, perjalanan nurani yang suci itu takkan selamanya berjalan mulus. Dosa yang sering diperbuat adalah penyebab utamanya, sehingga nurani yang suci itu tertutupi bintik hitam dosa yang kain lama kian menebal dan akhirnya sang suci itu, cahayanya meredup. Begitulah aku. Aku tak ingin menyerah dalam kondisi bagaimanapun.

Untuk sekedar melihat-lihat, penjaga bazar buku tersebut mengizinkan aku membaca walau hanya dari covernya saja. Kebetulan plastik pembungkusnya sudah dilepas. Biasa, buku yang dijadikan sampel, selalu saja dilepas pembungkusnya, gunanya untuk memnarik pembeli. Perlahan aku membukanya. Aku memabacanya dengan pelan, mencerna perkalimat yang kebetulan berbahasa Inggris. Dengan perlahan aku larut dalam samudera kekaguman, tenggelam bersama kalimat-kalimat penggugah jiwa. Kulihat Mas Agung sibuk dengan pembeli lain. Bazar buku kali ini penuh dengan diskonan yang cukup tinggi, sehingga banyak pelanggan bermminat membelinya. Aku terus saja mencerna kalimat demi kalimat hingga pada akhirnya aku terduduk dengan sendirinya di pojokan stan ini. Buku itu adalah buku yang memang aku cari untuk keperluan tugas akhir akripsi.

“Mas! Bacanya sudah selesai?” tanya mas Agung pelan.

“Ya... ya..” jawabku dengan seketika menutup buku itu. Aku sontak kaget dibuatnya. Kurasakan mukaku masam karena malu. Pasti mas Agung tahu kalau aku tak mungkin membelinya.

“Ah! Malu-maluin kau Mir” gumamku dalam hati.

“Ya udah mas.. saya buru-buru” ucapku cepat.

“Ya..” jawabnya sambil menyunnggingkan senyum.

Kubergegas menjauh dari mas Agung dengan memikul rasa malu yang begitu sangat. Baginilah aku jika lagi kanker, alias kantong kering. Bisanya hanya membaca saja tanpa membelinya.

***

“Udah bab berapa skripsimu Mir? Tanya Dodi, teman fakultasku.

“Alhamdulillah, bab I dan bab II sudah kelar walau masih ada sedikit yang harus direvisi. Sekarang masih dalam penggarapan bab III”

“Sukses ya.”

“Amin!”

Alhamdulillah. Kanan kiri, depan belakang, semua mendukungku. Setidaknya masih ada yang peduli terhadap anak kos yang pas-pasan seperti aku ini. Itu cukup untuk menjadi pemacu dan pemicu semangatku untuk terus mengejar pelangi nun jauh disana, berlari dari bukit ke bukit untuk melihat terbitnya sang surya, menancapkan bendera di puncak gunung Himalaya. Sementara itu, perasaan harap-harap cemas yang tidak berujung, yang tidak tahu kapan aku bisa mendapatkan buku itu kian mewarnai hari-hariku.

Penelitianku tentang air adalah bermula dari statement yang mengatakan bahwa air adalah sumber kehidupan. Allah SWT telah berkehendak menjadikan bumi sebagai planet yang kaya akan air. Sekitar 71% permukaan bumi dipenuhi oleh air, sedangkan 29% lainnya adalah daratan. Bumi juga menerima limpahan air hujan dari langit setiap tahunnya sebanyak 380.000 km3, 284.000 km3 terbuang di lautan samudera dan 69.000 km3 di daratan.

Satu kasus yang sampai saat ini membuatku mengernyitkan dahi. Kasus itu sering bahkan sampai sekarang terjadi di desaku. Banyak warga masyarakat yang ketika sakit, sakit apapun itu, maka satu-satunya obat yang lebih didahulukan dari obat lainnya adalah air. Tapi tidak sembarang air. Air itu adalah air pemberian seorang kiayai. Akupun pernah mengalami hal yang demikian. Ketika aku demam dulu, ayahku langsung ke kiayi. Ketika Ayahku pulang pasti dengan membawa segelas air, katanya itu adalah air doa. Air yang tersusun dari unsur H2O, hydrogen dan oksygen itu ternyata menyembuhkan. Ia bersifat healing persis seperti yang aku baca dari buku beberapa saat lalu, The True Power of Water. Dari sanalah penelitianku berawal. Bukankah masyarakat mesir kuno juga menjadiakn air sebagai sarana penyembuhan? Seorang dokter terkenal zaman itu, Amenhotep menganggap air sebagai unsur penting dalam setiap resep obat yang dibuatnya untuk pasien.

Terapi dengan air adalah aneka cara pengobatan menuju kesembuhan. Tugas utama air adalah untuk memompa suhu panas dan dingin tubuh. Suhu panas tubuh menjadi pendorong yang positif bagi energi tubuh. Hal itu terjadi berkat pengaruh efektif air terhadap komponen sel-sel mikroorganisme yang terdiri dari elektron dan ion-ion. Subhanallah! Maha suci Allah yang telah menjadikan air sebagai obat. Entahlah jika seandainya tak ada air, tentunya takkan ada kata dehidrasi untuk suatu penyakit.

Rasa takjubku pada air kian lama kian tinggi menggunung. Apalagi ketika sempat kulihat bentuk kristal air yang diambil dari air Zamzam. Air yang kandungan mineral Tidak seperti air mineral yang umum dijumpai, air Zamzam memang unik mengandung elemen-elemen alamiah sebesar 2000 mg perliter. Biasanya air mineral alamiah (hard carbonated water) tidak akan lebih dari 260 mg per liter. Elemen-elemen kimiawi yang terkandung dalam air Zamzam dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian: Pertama, positive ions seperti misal sodium (250 mg per litre), calcium (200 mg per litre), potassium (20 mg per litre), dan magnesium (50 mg per litre). Kedua, negative ions misalnya sulphur (372 mg per litre), bicarbonates (366 mg per litre), nitrat (273 mg per litre), phosphat (0.25 mg per litre) and ammonia (6 mg per litre). Kandungan-kandungan elemen-elemen kimiawi inilah yang menjadikan rasa dari air Zamzam sangat khas dan dipercaya dapat memberikan khasiat khusus.

Semangat untuk segera menyelesaikan tugas akhirku kian terapacu.

Assalamualaium Farhan!apa kabar sahabat? Bisa nga’ kita ketemuan besok pagi di depan Fakultas kita? Seperti biasa, jangan lupa ya..?” Tanyaku ke Farhan lewat SMS. Bebrapa saat kemudian ada balasan dari Farhan

Waalaikumsalam, kabarku baik Mir, aku lagi kosong Mir, maaf ya... ^_^?” balas Farhan lewat SMS.

Sebenarnya pertemuanku besok pagi dengan Farhan adalah untuk meminjam uang. Untuk beberapa bulan terakhir ini, Farhan adalah tumpuan yang menduduki list teratas dalam urunsan uang. Maklum, sakunya selalu tebal. Tidak sepertiku yang pas-pasan. Tapi kali ini, krisis global juga harus berimbas pada kantong tebalnya. Sabarlah Mir! Kamu pasti bisa membeli buku itu.

Mahgrib baru saja berlalu bersama lantunan Adzan isya’. Sementara bazar buku masih ramai seperti biasanya. Mas Agung yang sempat aku kunjungi waktu itu tak nampak di penglihatan. Buku yang tinggal satu itupun masih berdiri tegak di rak sana. Aku mencoba mendekatinya. Kali ini aku tak perlu malu-malu lagi untuk membaca kembali buku itu, toh yang jaga bukan mas Agung. Entah kemana dia. Seperti halnya seorang pembeli, aku melihat-lihat dari buku satu ke buku lainnya hingga akhirnya terjamahlah kembali buku yang membahas tentang air itu. aku membaca dari satu kata ke kata, dari satu kalimat ke kalimat, dari satu halaman kehalaman berikutnya. Sementara penjaga yang entah siapa namanya itu tak menghiraukanku, dia sibuk dengan pembeli lain. Aku dengan asyiknya membaca buku itu. Ketika aku berpaling sejenak, tiba-tiba mataku menangkap sebuah sosok yang sangat kukenal. Makin lama kian mendekat. Mas Agung. Ya. Wajah yang teduh itu masih lembab karena air wudhu’. Rupanya ia baru saja sholat Isya’. Seketika aku terperanjat. Aku bangun dari dudukku. Segera pergi. Kutaruh buku itu begitu saja tanpa mempedulikannya lagi. Aku tak ingin mas Agung melihatku. Sudah cukup aku terlumuri malu. Aku berlari, tak peduli siapa yang akutabrak. Entahlah, mas Agung melihatku atau ngak.

Saat ini aku tak ubahnya seekor kepompong yang sedang bersemedi, menunggu datangnya hari-hari indah menjadi kupu-kupu. Jika berhasil, maka kupu-kupu indah akan beterbangan, dan jika tidak, maka aku tetap menjadi kepompong jelek yang mati, terkubur dalam abu sejarah. Makanan yang kupunya saat ini hanyalah sabar. Katanya seorang muslim sejati itu tidak pernah terlepas dari tiga keadaan yang merupakan tanda kebahagiaan, yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, bila mendapat cobaan maka dia bersabar dan bila berbuat dosa maka dia beristighfar. Sungguh menakjubkan keadaan seorang muslim. Bagaimanapun keadaannya dia tetap masih bisa menuai pahala. Sabar dan sabarlah dalam menunggu datangnya pelangi. Menunggu dewi furtuna turun. Menunggu untuk segera bisa membeli buku itu. Aku sudah berusaha mencari pinjaman kebeberapa teman terdekat, tapi hasilnya tetap nihil. Sementara bazar buku tinggal dua hari lagi.

“Mir, saya ada uang. Katanya kamu lagi butuh pinjaman?” suara itu seketika bergelagar. Aku seolah disambar petir. Kaget. Suara merdu itu adalah suara seorang perempuan, ukhti Zainab, begitulah ia kerab dipanggil.

“Ya.. begittulah!” jawabku sambil menyunggingkan senyum.

“Kalau gitu, entar sehabis kuliah temui aku dikelasku ya..”

“Ya... pasti, InsayaAllah.. makasih banyak ya?”

Alahamdulillah. Siapa yang bakalan nyangka kalau aku bisa mendapatkan pinjaman. Semua itu adalah kehendak-Nya.

Dompetku kali ini agak sedikit menebal dengan uang itu. Aku bergegas ke bazar sebelum bazar itu keburu tutup.

“Pak, saya mau beli buku yang terpajang disini kemarin. Buku yang membahas tentang air” tanyaku pada penjaga stan itu. Kebetulan yang menjaga kali ini bukan Mas Agung.

“Buku yang tinggal satu kemarin itu baru saja dibeli orang. Jadi sudah habis mas.” Jawabnya. Aku merasakan jantungku berdegub kencang. Aku melihat bahwa skripsiku tidak bisa diselesaikan bulan ini. Referensinya sangat tidak mendukung. Kurang. Aku segera pulang dengan digelayuti sejuta penyesalan. Entahlah! Kenapa ketika uang sudah ada, malah bukunya yang sold out. Lagi-lagi aku harus bersabar. Ditambah lagi KTM-ku juga hilang. Entah kemana aku harus mencari. Seingatku tadi masih ada. Tapi biarlah, nanti kalau ada uang bisa bikin lagi.

***

Dua minggu berlalu. Ujian skripsi tinggal beberapa saat lagi. Namun skripsiku masih macet di bab IV, layaknya mobil yang kehabisan bensin. Haruskah aku wisuda tahun depan? Bisakah aku memenuhi permintaan kedua orang tuaku? Atau memang ini jalan yang aku harus tempuh? Ah tidak! Q pasti wisuda tahun ini. Biarkan waktu yang menjawab.

“Tok... tok... tok!” pintu depan kos berbunyi.

“Pos!” disusul kemudian suara pak pos.

“Aduh ngapain Pak Pos siang-siang gini kesini, ganggu orang tidur ja” gerutuku dalam hati.

Kubuka pintu depan kos dengan mengusap-ngusap mata. Ngatuk banget.

“Buat saudara Amir” tegasnya sambil mengeluarkan selembar kertas tanda terima.

“Aku? Amir?” tanyaku meyakinkan.

“Ya, Amiruddin” timpalnya.

“Perasaan aku tidak pernah minta kiriman lewat pos, siapa juga yang tahu alamat ini” tanyaku dalam hati dengan penuh keheranan.

Aku tanda tangani surat tanda terima kemudian menerima bingkisan segi empat itu. Sungguh aku masih terheran-heran. Rasanya aku tak pernah minta kiriman lewat pos. Kubuka dengan pelan. Didalamnya selembar kertas berbaring seraya bertuliskan,

Buat Amiruddin di tempat. Terimalah hadiah tak berharga ini dari saya: sebuah buku The True Power of Water. Ttd: Agung Setiawan. Penjaga stan bazar buku nomor 05.” Disusul dengan KTM-ku yang hilang.

Laahaula wala Quwwata illa billah.

Malang, 23 Juni 2009

Dj@z, Anak muda yang sedang bermetamorfosis