Jumat, 08 Januari 2010
Rabu, 06 Januari 2010
Selasa, 22 Desember 2009
Semoga aku tidak terbakar dengan bara cinta di hati.
Semoga aku tidak tenggelam dalam lembah kenestapaan oleh karena cinta ini.
Bukankah cinta adalah anugerah? lantas mengapa harus kusesali?
Tidak!! Sama sekali tidak!!
Mimpi-mimpiku takkan pernah terhapuskan oleh karena cinta buta ini.
Ya Allah... jaga dan bimbinglah hati dan fikiran hamba, kapanpun dan dimanapun!
Hanya kepada-Mu segala sesuatu kugantungkan.
Sabtu, 12 Desember 2009
SYNTAX
TUGAS MATA KULIAH ENGLIH SYNTAX
“ VERB AS HEAD ”


DISUSUN OLEH :
GUSTINA PALI
A. JAZULI
ENY ERNAWATI
HERMINA JEMIMUN
RIZA RAHMAWATI
STEVANNY ROSARIO
WILHELMINA CHRISTIANY
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BUDI UTOMO MALANG
2009
VERB AS HEAD
Untuk mempelajari stuktur of modification dengan verb sebagai head, kita harus membedakan 2 point penting,sebagai berikut :
Stuktur yang headnya adalah kata kerja itu sendiri.
Struktur yang headnya adalah beberapa tipe lain yang terkandung dalam sebuah kata kerja.
Seperti yang kita pelajari pada pembahasan ini adalah:
*Sturktur of predictation
*Struktur of complementation
Kedua struktur ini bisa menjadi head dari sebuah struktur of modification.
Contoh:
He usually tells me his secrets.
Pada kalimat ini usually tells adalah sebuah struktur of modification dengan kata kerja tells sebagai head.
He tells me his secrets usually.
Untuk kalimat ini yang menjadi headnya tidak hanya kata kerja tetapi semua struktur of complementation tells me his secrets.
Ussually he tells me his secrets.
Pada kalimat ini yang menjadi headnya adalah sebuah struktur of predication, he tells me his secrets.
Perbedaan antara 3 kalimat di atas ditandai dengan susunan kata dan hubungan suara/junctures,maka mari kita lihat pada chiness boxis berikut ini :
He usually tells me his secrets
He tells me his secrets usually
Ussualy he tells me his secrets
Pada umumnya single-word modifier of verb adalah adverb.Semua jenis adverb itu bisa menerangkan verb.
He works succesfully.
He drives rapidly.
He is moving ahead.
He was looking sidewise.
He can swim backward.
He has looked everywhere.
He stopped inside.
He speaks seldom.
Pada umumnya posisi adverb berada setelah verb. Semua jenis adverb bisa menerangkan verb.
Adverb juga dapat muncul pada posisi lain misalnya:
Sebelum verb
Antara verb and auxiliary
Antara kedua auxiliary
Contoh :
He successfully tried.
He slowly drove.
He has sometimes seen.
He has seldom been heard
It may even rain.
Ketika adverb yang lain muncul diantara noun subject and verb maka mereka menerangkan noun sebelumnya daripada verb.
Contoh :
People here rise early
Walking alone bores me
Motion forward gains ground
Urutan noun adverb-verb secara truktural jarang membingungkan,tetapi pada adverb tertentu dapat menerangkan naoun dengan verb. Secara structural itu membingungkan tetapi di cegah dengan speech.
Contoh:
Children nowadays have many kinds of entertainment.
The discussion grow heated
The newspaper said it would rain
Dalam pembicaraan,jika kita ingin menumjukan bahwa adver menerangkan kata benda sebelumnya maka kita harus memberikan jeda sebelum kata kerja tersebut.
Contoh :
The discussion thereafter grew heated
Sedangkan jika kita ingin menunjukan bahwa adverb menerangkan verb maka kita harus memberi jeda setelah noun.
Contoh :
The discussion thereafter grew heated
A simple verb-adverb struktur modification bisa dijadikan head dengan adverb sebagai modifier .
Contoh :
He never comes here
The train moved ahead slowly
The boy seldom walk along home eagerly
Beberapa noun tertentu bisa menerangkan verbs.Noun tersebut terletak setelah verb dan mempunyai noun determiners. Ketika noun mengikuti verb, posisinya bisa juga sebagai object. Kita bisa membedakan keduanya dengan menggantikan noun tersebut dengan it or them. Jika tidak mengubah arti maka noun tersebut termasuk object dari kata kerja ,tetapi jika mengubah arti maka noun tersebut termasuk modifier of verb.
Contoh :
SRUCTURE OF MODIFICATION STRUCTURE OF COMPLEMENTATION
(noun modifier of verb) (noun is object of verb)
He lived a year he lived his life
He walks this way he likes his own way
He saw a mile he measured a mile
Minggu, 29 November 2009
Senja ini, aku seperti baru saja terbebaskan dari dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk pemikiran, dunia yang selama tiga tahun ini menjelma menjadi selembar kain hitam yang mengikatku erat-erat. Ya, tadi pagi kami siswa kelas tiga IPA, IPS dan Bahasa baru saja melaksanaka Ujian Akhir Nasional, UAN. Dunia terasa begitu lempang angka ribuan, jutaan dan milyaran itu sudah tidak lagi menari-nari dalam anganku.
Hempasan angin menggiring bau tanah terasa begitu menyengat hidung, petanda bahwa senja akan segera diganti malam dengan jutaan misterinya dan cakrawala merah jingga diangkasa raya akan diselimuti pekatnya malam yang membelam. Ia merambah perlahan, samar, dan tiba-tiba….
“Allahu Akbar-Allahu Akbar…”
“Allahu Akbar-Allahu Akbar…”
Sesekali aku terperanjat ketika sayup-sayup suara Adzan dari surau dan masjid dipelataran nan jauh disana terlantun, melambai-lambai di udara, dihempas angin dan menaungi seantaro desaku. Kalimat-kalimat suci itu memecah kesunyian dalam kesendirianku, perlahan-lahan menyusup dalam imajiku, tertancap dalam palung-palung jiwa. O, betapa sejuk kurasa, betapa jiwa ini terlampiaskan dari kehausaan dan kekeringan. Jiwaku seakan terjamah, diremas, nyeri. Suara Adzan itu semakin menambah keharuan dalam gelembung pesonaku. Jiwaku terjaga oleh impian-impian dan semangat hidup. Kegetiran hidup yang semakin membengis terhapuskan sejenak ditimpali bongkahan es kesejukan yang turun dari langit, membangunkan jagad seataro ini dari keterpurukan bangkit menuju pelita penuh harapan, kemenangan, Hayya ‘alal Falah. Aku tertegun mencerna panggilan-panggilan suci itu.
Dalam gontaian langkahku menuju rumah, tercermin dalam anganku wajah ibu tercinta,
Degh!
Jantungku berdegup kencang , aku lupa kalau sedari tadi siang aku sudah keluar rumah tanpa pamitan sama ibu.
“Ibu pasti menungguku!!”
Kupercepat langkahku, pulang. Jalan setapak yang kulalui terasa bak seekor ular dimana aku sedang berjalan di punggungnya menuju kepala dengan gigi taringnya. persis seperti dua tiang gantungan dan aku digiring untuk dieksekusi. Semak belukar yang kujumpai di samping kanan dan kiriku bak seekor singa yang meraung-raung, ingin mencabik-cabik raga ini. Semua seolah mempersalahkan kepergiannku yang tanpa pamit ini. Fikiran tidak enak semakin menjilati sekujur tubuhku.
Malam semakin mempekat dan langit mulai terhiasi gemerlip bintang. Bulan memantulkan cahaya surya , berpijar ditengah petala langit yang gelap-gulita di atas sana.
dalam langkahku pulang, kusempatkan diriku untuk shalat Mahgrib di surau karena rumahku agak begitu jauh, sekitar satu kilometer.
Malam merayap, merangkak tertatih-tatih, dan Mahgribpun telah berlalu tenggelam bersama gorong-gorong waktu, namun bacaan dzikir dari surau dan masjid meraung-raung dikejauhan sana.
Tanpa terasa aura rumahku sudah didepan mata. Dihalaman depan rumah, tepat dibawah sentir yang tergantung tepat dibawah atap depan rumah, berdirilah seorang wanita tua renta dengan rukuh yang belum dilepasnya, ia baru saja shalat. Sambil mengggerakkan jari-jemari bersama sebuah tasbih hitam, mulutnya berkomat-kamit, wanita itu sedang berdzikir , dzikir yang baginya makanan rohaninya . wajahnya merona berseri-seri bak pelita dalam kegelapan , namun terukir pada garis wajahnya sebuah kesedihan, raut wajahnya menerawang, ia menatap sayu kedepan seolah ada yang ditunggunya selama ratusan tahun. Perlahan ia menitikkan air mata kesedihan, memecah garis-garis pipinya yang sudah mulai lentur selentur kain sutra. Wanita tua itu adalah ibuku dan juga ibu dari kakakku yang telah meninggalkan kami beberapa tahun lalu. Inilah aku yang tak pernah merasakan belaian kasih dari seorang kakak karena dia keburu meninggalkanku kala aku masih dalam kandungan. Kanker rahim yang dideritanya membuatnya tak bergeming untuk bertahan hidup walau sedetik sebelum aku dilahirkan. Begitu juga dengan ayah, beliau menderita sakit yang berkepanjangan setelah kematian kakak perempuanku. Beliau tak meninggalkan apapun kecuali sepetak tanah. Kini aku hidup bersama seorang ibu yang sudah menginjak masa menopause dimana beliau tidak bisa bekerja dengan keras seperti dulu kala. Dialah ibuku yang memberikan sejuta kasih sayang pada anaknya melebihi kasih sayang siapapun sekalipun harus dibandingkan dengan kasih sayang Qaisy pada Laila. Surga yang katanya sangat indah, dimana segala sesuatu terdapat disana harus merelakan berdiam dibawah telapak kaki seorang ibu. O, betapa mulia seorang ibu!. Dari sanalah jangankan membantah, menatap matanya saja aku tak berani, bagiku ia adalah kilauan permata yang tak dapat ditangkap oleh kamera manapun, silau. Tapi aku sekarang, O, betapa besar dosaku padanya hingga aku membuatnya menunggu. Bahagiaku karena UAN membuatku lupa akan sesuatu yang paling berharga dalam hidup ini. Aku tak pernah melihat ibu sebegitu durja seperti sekarang ini. Maafkan aku ibu, maafkan anakmu yang tak tahu diri ini.
“ Assalamu alaikum!” kuucapkan salam, sambil ku cium tangan lembutnya
“ Waalaikum salam!” beliau terperanjat, kaget.
“ Kamu le ?, kemana saja kamu ?” sesekali butiran air mata itu mengalir, sambil menyeka air matanya ibu mencoba tersenyum.
“ Aku … aku baru datang dari sawah bu, padi kita, Alhamdulillah sudah cukup umur untuk panen, sambil lalu aku mencari angin untuk melampiaskan kegembiraanku karena tadi pagi sekolahku sudah melaksanakan UAN “ jawabku dengan kepala menunduk.
“ ya sudah, masuk!” ajak ibu.
“ le, kamu tidak boleh terlena dalam kegembiraanmu, kamu masih diantara lulus dan tidak lulus anakkku.” Ujar ibu sambil memegang tanganku sekalian aku membawanya masuk.
“ Kamu sudah sholat le ?”.
“ Ya bu”.
“ Makan ?”.
“ Belum “. Jawabku sambil meremas-remas perutku. Sedari tadi perutku belum kemasukan makanan.
“ Kamu makan dulu, habis itu ibu ingin membicarakan hal penting denganmu”. Perintah ibu.
“ Alhamdulillah…!! “
Perutku sudah terisisi makanan, semoga apa yang baru saja kumakan dapat mengundang mamfaat yang bsar walaupun makan alakadarnya saja, Amin…
Sehabis makanan, seketika lamunan itu melayang-layang, yaitu lamunan dimana aku dan sekwanannku dapat mengarungi samudera kepahitan, ketidaklulusan, samudera yang sama sekali tidak kami inginkan. Kutangkap suara mereka yang begitu riang, wajah ceria yang takpernah kulihat dan senyum kebanggaan para guru. Dan aku, O, betapa beruntungnya kau Hasan mendapatkan nilai terbaik, betapa tergambar diriku begitu girang bukan kepayang , bangga. Seorang Hasan, anak desa yang miskin dapat memperoleh nilai terbaik. Dan…
“ San… kalau makannya sudah, cepat kesini, ada yang ingin ibu bicarakan” Panggil ibu dari halaman depan sana. Aku terperanjat kaget. Kudapati gelembung anganku meletus, nafasku tersenggal sejenak.
“ Ya bu..!” jawabku dari kejauhan.
Entah ada angin apa tiba-tiba aku terheran-heran karena takbiasanya ibu memanggilku seperti ini seolah ada yang benar-benar penting yang ingin ibu bicarakan. Aku dilanda sejuta pertanyaan akannya. Sesampainya di halaman depan rumah, kulihat ibu sedang duduk termangu, tersimpan sejuta misteri dibalik raut wajahnya. Aku mencoba duduk didekatnya.
“ San..” kata ibu pelan. Kemudian beliau melanjutkan,
“ Tadi, waktu kamu tidak di rumah Pak lurah kesini, beliau menanyakan soal tanah kita satu-satunya peninggalan bapak itu. Pak lurah nanya ke ibu apakah tanah itu mau dijual. Katanya beliau sangat membutuhkannya dalam dua puluh hari ini untuk keperluan masyarakat, termasuk kita ini. Tanah itu kalau jadi mau didirikan surau. Tak begitu mahal cuma diatas rata-rata. Menurutmu gimana?” Tanya ibu serak.
Degh!
Aku kaget mendengar berita yang baru ibu sampaikan itu. Aku mencoba untuk tenang. Tak ada suara apapun. Malam ini aku dilanda bisu yang begitu sangat. Suara jangkrik dan serangga malam di kejauhan sana menggema dalam lamunanku ditambah lagi detak jantungku yang semakin lama bertalu-talu dalam samudera bisuku. Sementara ibu masih diam, menunggu komentarku. Seketika aku bangkit. Aku mencoba berkomentar.
“ Semuanya kupasrahkan penuh pada ibu “, komentarku pelan. Kemudian aku melanjutkan,
“ Tapi bagaimana kita kedepannya ibu?, bukankah penghasilan kita satu-satunya bersumber dari tanah itu? Dan bukankah menjadi cita-cita ibu agar aku bisa kuliah sampai gelar Sarjana? Tapi sekali lagi, semuanya kupasrahkan padamu, ibu “
“ Rencana ibu kalau kamu nanti lulus, separuh dari uang itu untuk biaya kuliahmu dan separunya lagi buat buka usaha kecil-kecilan. Lagian kalau tidak menjual tanah itu uang kuliahmu dapat dari mana coba?”
“ Tapi pelulusan masih satu bulan dari sekarang bu, bagaimana jika… jika Hasan tidak lulus? “
“ Huss!! Kamu tidak boleh seperti itu le. Kamu pasti lulus kok, aku yakin itu. Kamu kan selalu mendapatkan rengking satu terus, apalagi nilai Ekonomimu yang tingggi menjulang itu. Yakinlah bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik buat hamba-Nya. Ya..?” ibu meyakinkan.
Oh ibu! Sulit bagiku menangkap asamu yang begitu tinggi ini. Sungguh aku tak dapat menjamah walau hanya sebutir dari gurun asamu. Hal apa yang begitu membuatmu sedemikian hingga kau relakan tanah satu-satunya itu demi masa depan anakmu yang tak tentu ini. Ibu! Semoga Hasan dapat mengemban titah ini. Amin..
Llima belas hari belalu sebegitu cepatnya. Waktu terus mengalir tanpa kurasakn seberapa jauh ia telah menguasai jagad ini. Perhitungan manusia akan waktu hanya dimulai sesaat setelah bumi ini mendekati detik terakhir kehancuran. Masehi da Hijriyah hanyalah sebagai dua pasak yang ertancap di bumi dan menjadi panutan umat. Keduanya tak dapat mengukur waktu lampau sebelumnya . begitulah waktu yang katanya bak sebilah pedang begitu tajam mengiris-ngiris kehidupan.
Dan aku? O, kini aku harus kehilangan sepetak tanah peninggalan ayah demi masa depanku. Masa depanku yang tak tentu. Ibu! Demi cita-citamu yang agung ini aku harus merelakan rasa kehilangan ini bersemayam di dada. Rasa ini akan menjadi pemicu semangat untuk meraih ciata-citaku. Rasa in takkan hilang dan takkan pernah terkikiskan oleh ombak manapaun. Aku berhutang budi padamu, ibu.
Tak jauh dari sekolahku, bediri kokoh sebuah rumah khas kejawa-jawaan dengan bercatkan kuning langsat. Rumah itu terletak dipinggir jalan raya. Rumah-rumah disekitarnyapun tak jauh beda dengannya. Rumah-rumah itu dihuni oleh para pejabat dan guru, tapi rumah yang bercatkan kuning langsat itu nampak begitu mewah dan alami, sangat terlihat beda dengan yang lainnya. Taman dengan kolam kecil di tengahnya menambah kesejukan suasana. Pagarnyapun tak kalah indahnya. Ia terbuat dari semen tapi nampak seperti batang pohon akasia kering karena memeng sudah didesain sedemikian, sangat terkesan begitu alami. Dekat pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati, berdiri tegak papan putih bertuliskan “ RW 09 KELURAHAN ORO-ORO DOWO”. Ya, itulah rumah Pak lurah yang telah membeli sepetak tanahku. Kedatanganku kerumah itu taklain bertujuan untuk mengambil uang yang telah kami sepakati sebelumnya. Uang itu kini telah berada dalam genggamanku. Uang dengan tas kecil itu berbobot sekitar dua kilogram. Dalm hidupku tak pernah kugenggam uang sebanyak itu. Kadang aku sampai menepuk-nepuk pipiku, takut kalau semua ini hanyalah mimipi belaka. Sakit kurasa. Kenyataan. Nada riang tergetar dalam not-not benang hatiku. Aku tersenyum kecil, bahagia. Tapi dibalik tirai senyum yang tersungging pada garis-garis bibirku, tersimpan sejuta misteri dimana akhirnya aku hanya dapat tersenyum kaku karena kulihat bayang-bayang masa depan yang bergelantungan pada kertas merah itu. Aku takut dengan semua ini. Aku takut kalau dengan uang ini aku hanya bisa diam tanpa ada usaha untuk meneruskan kuliahku. Kupegang erat tas itu, kutaruh dalam laci dekat ranjang ibu, terkunci rapi, aman.
Pagi yang kurasakan saat ini adalah pagi yang tak jauh beda dari pagi-pagi sebelumnya. Dingin tak lupa akan jadwalnya dan matahari mulai merekah dari ufuk timur diiringi terompet kongkokan ayam tetangga. Suara itu mematahkan garis-garis perpisahan antara diam dan bertindak. Pagi ini adalah pintu gerbang istanaku, akan kubuka lembaran pagi yang kesekiaan kalinya dan akan kutulis dengan tinta-tinta inisiasi penuh semangat.
Asap dapur mulai mengepul, petanda bahwa ibu sedang masak.
Pagi ini sangat cerah secerah cahaya hati tanpa bintik hitam dosa.
Tiba-tiba..
Bayang-bayang pelulusan memantul dari sebuah kaca yang tak kuketahui dari mana arah datangya. Kurasakan dunia seketika gelap dan semangat inisiasi itupun perlahan-lahan luruh.
“Tigahari lagi” hati kecilku berbisik. Andai saja waktu bisa kupercepat, maka tiga hari bukanlah waktu yang amat panjang. Tiga tahun seperti sesaat ketika ia dipenuhi dengan canda dan tawa. Tapi kali ini bagiku, tiga hari adalah waktu yang teramat panjang yang harus kulalui. Semenit terasa sebulan dan sejam terasa bertahun-tahun.
Saat ini aku tengah didera sejuta kegelisahan dari sebuah tanggung jawab, tanggung lulus. Sang waktu hanya menjadi hitungan jari-jemariku. Entah kapan semua kegelisahan ini akan berakhir. Waktulah yang menjadi raja bagiku. Akau harus hidup dalam sebuah gorong waktu yang disebut penantian. Kulalui waktuku dengan harus bertarung melawan segudang godaan atas segala kerisauan dan kegelisahan yang tiap detik menyayat jiwaku. Ketegaran dalam penantian menjadi santapan pahit dalam setiap sarapan jiwaku. Penantian begitu menyakitkan. Aku harus bertahan hidup walau lapar dan haus akan meremukkan ragaku tapi jiwaku takkan pernah goyah sekalipun badai besar menghantam.
O, betapa besar tanggung jawab yang kini kuemban. Tak pernah terpikirkan kalau setelah UAN akan kurasakan beban seberat ini. Aku mengira tak ada beban apapun setelah UAN. Tapi kini, kata ‘lulus’ adalah satu diantara yang ada dalam kamus tanggung jawabku. Tiga tahun seolah tiada arti ketika ketika kata itu menghilang . Aku harus lulus karena uang sudah digenggam untuk masa depanku. Memang, lulusnya seseoarang bukanlah bukanlah penentu kejenjang masa depan gemilang. Tapi apakah mungkin mereka yang tidak lulus dapat melanjutkan kejenjang berikutnya? Lembaga / instansi mana yang dapat mnerima jika syarat dan ketentuannya tidak lengkap? Bukankah ijazah dalam hal ini menjadi tali penyambung untuk mencapai masa depan? Adalah munafik mengatakan bahwa ijazah penting. Segala sesuatu mempunyai peran penting cuma ada yang lebih penting dan ada yang kurang penting..
Detik-detik pelulusan telah diambang pintu. Penantian yang aku tunggu akan segera tiba. Ceria dan tawa menanti kami di singgasana. Akankah linangan air mata yang kami tidak kehendaki itu akan mengalir deras? Atau mungkin samudera tawakah yang kami akan arungi? Waktu, ya, waktu yang akan menjawab semuanya.
Detak jantungku makin berdegup kencang seolah adrenalin mengalir deras. Darahku berdesir. Butiran keringat mulai membasahi sekujur tubuhku. Tegang, penasaran, takut dan sedih semua berkecamuk di jiwa hingga sulit kuterjemahkan perasaan apa yang sebenarnya tengah mendera hatiku saat ini.
Ada yang menanti kami di singgasana. Sejuta teka-teki bergelantungan, ingin rasanya segera kupecahkan agar segera terentaskan dariku kecemasan, rasa penasaran dan kegundahan yang selama beberapa hari ini menari-nari, mengiringi dalam setiap langkah dan helaan nafasku. Aku terpenjara berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun menanti hari kebebasan, hari pelulusan.
Hari itu,
Hari tu, hari dimana sang pecinta dapat mempersunting kekesihnya, petani yang merindu hujan kala kemarau panjang, pegawai pada tanggal tua, Muslim dikala senja Ramadhan dan bagiku O, aku yang terpenjara akan menghirup udara segar, luasnya alam, sejuknya embun pagi. Ya, hari itu adalah hari pelulusan.
Bersama sinar matahari pagi yang menyapu dedaunan, didepan halaman sekolah, dibawah pohon-pohon yang rindang, kami berkumpul, menanti pengumuman. Kami menunggu sambil ngobrol-ngobrol. Ada yang berdiri, ada yang duduk, bahkan ada yang duduk berselonjor. Suasana menjadi riuh dan gaduh.
“ Hai San! Gimana perasaanmu hari ini?” Tanya Rahmat padaku.
“ Tegang” jawabku dengan nada skeptis.
“ Tegang? Gak perlu tegang gitu bos, aku yakin kamu pasti lulus, kamu kan rengking satu terus, pakar Ekonomi lagi!”
“ Amin….tapi jangan berlebihan gitu dong Mat!” seketika Ramdan nyeletuk.
“ Ya tuh, kamu sok melebihi Tuhan”.
“ Benar tuh Ramdan, kamu ngak boleh melebihi yang diatas” timpalku pada Rahmat.
“ Tapi kita kan gak mau ada yang tidak lulus” kata Rahmat mencoba membela.
“ Semoga kita, termasuk kalian anak IPS lulus semua” tiba-tiba Aida datang menghampiri kami. Aida adalah anak Bahasa.
Sudah satu jam kami menunggu, tapi dari pihak kepolisian belum nampakkan batang hidungnya, membawa surat pengumuman itu. Kami para siswa dan juga para guru diselimuti kecemasan, kegundahan dan ketegangan.
Sepuluh menit berlalu, kemudian datanglah dua polisi dengan motornya yang bercangkang-cangkang berwarna hitam keabu-abuan. Mereka dengan tas hitam yang dibawanya turun. Polisi itu memicingkan matanya, mencocokkan tas itu dengan sekolah kami, ‘ SMA HARAPAN BANGSA I ‘. Kemudian keduanya berjabat tangan dengan para guru. Kami menatapnya lekat-lekat, semua mata tertuju padanya. Setelah berbincang-bincang agak lama, pak Amin kepala sekolah kami mengkondisikan teman-teman, membagi sesuai dengan kelas kami. Tiga kelas berderet memanjang bak tentara yang akan dikirim perang. Wajah kami memucat keputih-putihan.
“Assalamamu ‘alaikum Wr. Wb” pak Amin berucap salam.
“ Wa ‘alaikum salam Wr. Wb” kami serentak menjawab.
Dengan didampangi pak Hosein, guru Agama kami, pak Amin mencoba membuka map kuning itu. Dibelakang sana berjejer wali kelas; pak Agus wali kelas Bahasa, Ibu Sunarsih wali kelas IPA dan pak Bambang wali kelas IPS. Di pojok kiri sana, beberapa meter dari para wali kelas, berdiri tegap dua sosok manusia dengan seragam coklat dengan sebuah pistol disisi sabuk sebelah kanannya. Kedua tangannya menyikut kebelakang dan kedua kakinya terbuka, posisi istirahat. Mereka adalah polisi yang ditugaskan membawa hasil pengumuman pelulusan.
Dibukalah amplop besar itu oleh pak Amin. Kami seakan diremas-remas, ketakutan. Tanpa basa-basi beliau membagikan tiga lembar kertas putih pada ketiga wali kelas disusul beberapa kertas lainnya. Pak Agus, bu Sunarsih dan pak Bambang masing-masing menuju kearah kami. Keadaan menjadi lengang sejenak, angin menyapa kami dengan lembut. Kami tak mendengar apapun kecuali detak jantung kami yang kian lama kian berdegup kencang seolah mau copot, meronta-ronta, tegang. Keringat membasahi kerah kami. O, apakah dunia akan mencela jika aku tidak lulus? Apakah uang yang aku terima tidak akan berarti apa-apa tanpa selembar ijazah? Duh gusti!! Hamba tak kuasa menanggung beban seberat ini.
Kulihat pak Agus dan bu Sunarsih menyunggingkan senyum diantara kedua ujung bibirnya. Keduanya seakan ingin berteriak girang melihat kertas itu. LULUS. Ya begitulah kelas IPA dan BAHASA berhasil menembus tabir tebal pelulusan. Mereka bersorak ria. Air mata yang mereka keluarkan adalah air mata aria, sementara kami anak IPS masih dilanda banjir keringat yang terus menerus bercucuran seakan menenggelamkan raga kami., ada juga dari kami yang sampai menitikkan air mata. Rini, dialah cewek tercengeng di kelas kami, sapu tangannya tak kuat menahan bendungan air mata yang bocor dan mengalir memecah pipinya yang halus dan wajahnya yang mungil. Dan aku O, aku menangis juga, kenapa aku menitikkan air mata? Air mata ini? Apakah ini air mata yang bersumber dari telaga kesedihan atau kegembiraan? Getir kurasa. Rasa takut dan cemas menyelimuti jiwa ragaku. Bagaimana jika aku tidak lulus? Bagaimana jika…, Ah, tidak! Aku pasti lulus. kalaupun aku nanti tidak bisa memesuki pintu gerbang pelulusan, maka itu adalah yang terbaik buatku. Apalah arti selembar ijazah dibandingkan dengan ibuku! Apalah arti nilai dibandingkjan dengan kasih sayang ibu! O, betapa naifnya aku jika tidak bisa menghadapi sebuah kenyataan. Betapa aku tersesat jauh dari jalan-Nya ketika duri sekecil ini tak bisa ku hadapi. Jalan beronak duri bukanlah apa-apa dibandingkan dengan jalan lempang yang telah Tuhan anugerahkan padaku. Aku pasti bisa menerima kenyataan. BISA!!.
“ Cepat baca donk pak !” tiba-tiba Rahmat berteriak dari belakang, dia sudah tak sabaran. Aku terjaga dari keterbanan perasaanku yang sedari tadi menjalar menggerogoti jiwa ragaku. Kuseka air mataku dan kulihat pak Bambang mengerutkan keningnya. Uratnya nampak melogam. Beliau menatap kertas itu lekat-lekat seolah ada virus jenis T merasuki kertas itu. Beliau nampak memerah, entah gerangan apa yang terjadi padanya.
“ Rahmat, lulus. Ramdhan, lulus. Rini, lulus.”
Begitulah pak Bambang menyebutkan nama kami satu persatu. Dan kini sampailah pada giliranku. Namaku terletak pada daftar nama yang paling akhir karena nomor pesertaku urutan ke empat puluh dari empat puluh siswa.
“ Hasan..!” aku kaget ketika nama itu disebut, sebuah nama yang indah pemberian almarhun ayahku.
Degh!
‘ Hasan, ikut keruanganku!” perintah pak Bambang.
Aduh! Gerangan apa yang akan terjadi lagi saat ini. Teman-teman bersorak ria. Mereka bersujud, saling berpelukan, menangis. Sungguh suasana yang begitu haru-biru. Tapi aku, dasar Bambang!, tidak! maksudku pak Bambang.
Teman-teman tak mempedulikanku. Mereka tak ada perhatian samasekali padaku. Mereka mengira kalau aku mendapat hadiah spesial dari Wali kelas. Karena mereka berkeyakinan kalau nilai tertinggi ada padaku, Hasan.
Dalam gontaian langkah dari ruangan pak Bambang, aku tak kuasa membawa raga ini. Limapuluh kilogram dari berat badanku terasa duakali lipat. Sungguh bobot yang tak bisa kuangkat apalagi kubawa. Berat rasanya. Separuh dari bobot tu adalah bobot kesedihan. Ingin rasanya rasa itu kubuang ke kubang senyap. Tapi ah.. begitu berat.
Kurasakan keheningan yang kian akut. Angin tak lagi menyapaku lembut. Waktu seolah berhenti sejenak, mencacimaki diriku. Diriku yang tidak lulus. Pelajaran Ekonomi yang kubanggakan adalah sumber kesedihanku yang kemudian akan menenggelamkanku kedalam lembah kenestapaan. Kini aku yang melarat harus ditimpali kemelaratan dua kali lipat. Anak IPA dan BAHASA tak percaya akan semua ini apalagi taman kelasku. Mereka mengira bahwa semua ini adalah sandiwara belaka, tapi memang benar angka 0,5 dari 5,00 tak dapat kuraih. Kini aku tak bergeming dengan semua ini apalagi ditambah dengan uang yang baru kemarin lusa kuterima dari pak RW.
“ Inilah Indonesia! Bukankah dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 58 ayat(1) dikatakan ‘Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan” teriak Rahmat. Para guru dan teman-teman tersentak kaget oleh berita ini. Sesaat setelah itu Rahmat melanjutkan
“Dari ayat ini sudah diketahui bahwa yang berhak dan berkewajiban menyelenggarakan evaluasi terhadap peserta didik atas proses hasil belajar adalah guru. Karena guru-lah yang paling tahu tentang proses belajar didalam kelas, guru-lah yang paling mengerti tentang kemajuan proses belajar siswa, dan guru-lah yang dapat menentukan apakah peserta didik itu berhasil atau tidak dalam proses pembelajaran. Dimana keadilan itu?”
Aku hanya bisa diam termangu.
“Mengapa Hasan yang brilliant harus tidak lulus? Bukankah dia jauh di atas kita?” Ramdhan tiba-tiba bangkit.
“ Ya..” serempak suara teman-teman memberi respon.
Pertanyaan demi pertanyaan dilemparkan begitu saja kepada semua guru, utamnya pak Amin selaku kepala sekolah. Mereka hanya diam seribu bahasa, sementara pak polisi siap siaga Takut kalau teman-teman membuat aksi anarkis terhadap sekolah.
“ Tak ada yang perlu disalahkan teman-teman! Ini adalah pelajaran hidup yang harus kuambil dan kusimpan rapi-rapi” kucoba bangkit dari ketenggelamanku. Semua mata tertuju padaku. Mereka diam. Teman-teman tidak jadi main semprot-semprotan. Mereka tidak bisa bersenang-senang diatas sesuatu yang mereka sebut penderitaan. Bagiku ini bukanlah sebuah penderitaan. Bagiku ini hanyalah sukses yang tertunda. Aku memang kehilangan ijazah, tapi aku tidak kehilangan ibu. Aku masih punya guru dan teman-teman. Merekalah yang terpenting dalam hidupku. Karena tanpa mereka tak mungkin bagiku dapat melangkah sejauh ini.
Dalam kepedihan ini, kucoba menyelami samudera jiwaku untuk mendapati seberkas pelita untuk bisa dijadiakan obor penerang jiwaku dan menunmbuhkan bibit semangat hidup agar bisa tetap bangkit.
Tuhan tidak tidur. Tuhan tidak tuli. Allah Maha pengasih lagi Maha penyayang. Dia takkan membiarkan hambanya tenggelam dalam keterpurukan. Dan aku, semoga dibalik semua ini tersimpan sejuta kebahagiaan sebagai balasan dari cobaan yang kuhadapi ini. Bukankah setelah lapar ada kenyang, setelah haus ada kepuasan, setelah begadang ada tidur pulas, dan setiap sakit ada kesembuhan! Setiap yang hilang ada ketemu, dalam kesesatan ada petunuk, dalam kesulitan ada kemudahan, dan setiap kegelapan ada terang benderang. Jika demikian mengapa aku patah semangat.
Semoga aku tetap dalam garis kesabaran. Amin…
“ Ayah..! ada tamu diluar” suara melengking itu memanggilku. Itu adalah suara Ratna anak perepuanku.
“ Ayah.. cepat tamunya sudah nunggu dari tadi” ratna memanggilku lagi. Aku tersentak kaget. Kudapati diriku menitikkan air mata. Sedari tadi aku termangu disini, didepan foto ini.
“ Ibu.. kini ankamu sudah menjadi juragan padi. Kini anakmu sudah mempekerjakan lebih dari tujuh puluh orang. Meskipun aku dulu tidak lulus SMA seperti yang ibu cita-citakan, tapi maksud dari cita-cita ibu dapat kuraih, ibu dulu mewanti-wanti agar kelak aku menjadi orang yang berguna, taat beragama, dipercaya oranglain, serta dapat memperbaiki ekonomi keluarga. Ibu.. kini cucumu tidak lagi seperti anakmu ini yang harus merelakan tanahnya dijual. Dengan sisa uang itu, aku mencoba membuka usaha kecil-kecilan dan Alhamdulillah Allah bekehendak untuk menerapkan ilmu Ekonomiku walau tidak dibangku kuliah..” Aku tak dapat melanjutkan semua itu. Air mataku terus mengalir
“ juragan! Tamunya Gan!” pak Ramli, kuliku mengetuk pintu kamarku.
Kuseka air mataku. Kugantung foto itu kembali.
Aku mencintaimu ibu.
Dj@z, Anak muda yang sedang bemetamoefosis
Oktober ‘08.